SBY Turun Gunung Sikapi Isu Kudeta karena Ancamannya Semakin Gawat
JAKARTA – Direktur Eksekutif Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) Kunto Adi Wibowo menyebut ada tiga hal yang mendorong Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung menyikapi isu kudeta di partai berlambang mercy itu. SBY adalah ayahanda Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) .
“Mengapa SBY turun gunung, itu tentu saja terkait dengan ancamannya, menurut saya ancamannya mungkin semakin gawat, semakin jelas,” ujar Kunto Adi Wibowo, Kamis (25/2/2021).
Kunto pun menyinggung pernyataan SBY yang menyatakan bahwa Partai Demokrat bukan untuk diperjualbelikan. Kemudian, kelompok yang berupaya melakukan kudeta itu telah bergerilya ke DPC dan DPD.
“Sehingga SBY butuh menyuarakan konsennya dan saya kemarin juga sudah bilang bahwa Demokrat itu top of mind-nya SBY, ketika orang mikir Demokrat orang mikir SBY, sehingga SBY perlu untuk kemudian menegaskan kembali bahwa Demokrat adalah saya dan saya adalah Demokrat itu kan dan siapa yang loyal kepada saya ya loyal kepada Demokrat,” kata Kunto.
Kedua, Kunto tertarik dengan pesan SBY yang menegaskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan tokoh-tokoh bangsa lain tidak terlibat dalam usaha pengambilalihan Partai Demokrat itu. “Jadi, Pak SBY secara tegas perlu kemudian mengatakan bahwa enggak kok Pak Jokowi enggak terlibat, saya percaya pada Pak Jokowi,” katanya.
Menurut dia, eskalasi isu kudeta itu membuat hubungan tidak baik antara SBY dengan Presiden Jokowi dan dimanfaatkan pihak tertentu untuk memancing di air keruh. “Dan Pak SBY melihat bahwa salah satu strategi terbaik untuk mempertahankan Demokrat adalah dengan menjaga hubungan baik dengan Istana, tidak hanya pada Pak Jokowi, Budi Gunawan kemudian Kapolri dan banyak pejabat lain disebut Pak SBY, katanya tidak terlibat dalam usaha pengambilalihan Partai Demokrat ini,” imbuhnya.
Ketiga, Kunto menilai SBY pandai memanfaatkan situasi. “Kemudian membuat panggung nasional sehingga dia tetap dikenal dan dia juga membuat strategi agar kenapa publik punya simpati kepada Demokrat, jadi ini pesan ketiga dari Pak SBY dengan kemudian menyatakan bahwa ketika saya mantan presiden pun juga susah mendapatkan keadilan, itu kan dia playing victim lagi,” ujarnya.
Kata dia, SBY menempatkan diri sebagai korban dari sebuah situasi kondisi yang dianggap tidak adil. “Dan dengan demikian dia calling for empaty atau simpati dari publik itu terutama untuk Partai Demokrat. Cara yang sama terbukti berhasil di Pemilu 2004 dan mungkin akan berhasil lagi saat ini, kita tidak tahu, di 2024 terutama untuk AHY, kita lihat saja untuk yang ketiga ini,” tuturnya.
“Tapi menurut saya tiga alasan itu yang menyebabkan Pak SBY harus kemudian memberikan statement dalam bentuk video tentang apa yang terjadi di Partai Demokrat saat ini,” pungkasnya.