Rawan Jadi Target Serangan, PLTN UEA Picu Kontroversi
DUBAI – Setelah meluncurkan misi tanpa awak ke Mars, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara pertama di Timur Tengah yang memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Proyek pertama itu diluncurkan oleh Perusahaan Energi Nuklir Emirat (ENEC) dan memicu kontroversi karena dinilai tidak aman dan membahayakan bagi masyarakat.
Ancaman paling nyata adalah adanya serangan ke fasilitas nuklir di Timur Tengah. Setidaknya sudah terdapat 13 serangan udara ke fasilitas nuklir di sana atau lebih banyak dari negara di belahan dunia lainnya.
PLTN memang menjadi target empuk serangan rival. Apalagi, tahun lalu, fasilitas minyak di Abqaiq dan Khurais di Arab Saudi mendapatkan serangan berupa 18 pesawat nirawak dan tujuh misil. UEA sebagai koalisi utama Saudi menjadi negara itu sangat rawan menjadi target serangan, baik oleh Iran atau musuh mereka, yakni pemberontak Houthi di Yaman.
Faktor geopolitik dan keamanan di Timur Tengah memang menjadi ancaman paling nyata bagi PLTN. Apalagi, sebagian masyarakat dunia sepertinya masih trauma dengan kebocoran pembangkit listrik. Risiko itu yang tidak terlalu menjadi pertimbangan UEA mengembangkan PLTN.
UEA merupakan negara yang menjaga jarak dari perilaku negara Arab lainnya dengan tidak membuat pengayaan uranium. Mereka juga menyepakati Protokol Tambahan lembaga pemantau nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan meningkatkan kapasitas inspeksi. UEA juga bekerja sama dengan Amerika Serikat (AS) yang mengizinkan pengembangan nuklir untuk kepentingan sipil.
Meskipun UEA memiliki cadangan gas dan minyak bumi yang melimpah, mereka tetap menggelontorkan dana besar-besaran untuk mengembangkan energi alternatif, termasuk nuklir dan tenaga surya. Para pakar mempertanyakan kenapa UEA tidak fokus mengembangkan tenaga surya dan angin, dibandingkan nuklir yang mahal dan berisiko, dibandingkan sumber negeri berkelanjutan.
Ketika UEA mengumumkan proyek PLTN Barakah pada 2009, negeri nuklir memang lebih murah dibandingkan tenaga surya dan angin. Tapi, pada 2012, ketika UEA mulai membangun reaktor nuklir, investasi listrik tenaga surya dan angin justru lebih murah dan menurun drastis. Pada 2009-2019, biaya investasi energi tata surat turun 89% dan energi angin turun hingga 43%. Sementara biaya investasi PLTN meningkat menjadi 26%.
Peneliti Energy Institute Universitas College London Paul Dorfman mengkritik reaktor Barakah yang memiliki desain dan kualitas murahan. Dia mengungkapkan reaktor Barakah tidak memiliki kemampuan untuk menangkal kebocoran. Reaktor tersebut juga tidak memiliki Generation III Defence-In-Depth yang mampu menahan serangan misil. “Padahal, dua kekuatan itu menjadi standar reaktor nuklir baru yang dibangun di Eropa,” kata Dorfman.Selain itu, Dorfman menegaskan tidak adanya protokol di Timur Tengah untuk menentukan kelayakan suatu PLN dalam menangkal radioaktif yang bisa menyebar ke negara tetangga. “Barakah memiliki permasalahan keamanan dan keselamatan yang penting di negara Teluk. Jika tidak, banyak negara lain yang bisa menjadi korban jika terjadi kebocoran,” katanya, kepada Al Jazeera.
PLTN Barakah berlokasi di Abu Dubai yang dibangun Korea Electric Power Corporation (KEPCO). Awalnya, PLTN itu seharusnya dibuka pada 2017, tapi berulang kali ditunda. “Itu menjadi reaktor energi nuklir damai pertama di negara-negara Arab,” kata penguasa Dubai Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum. Itu juga menjadi langkah nyata Dubai mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi.
CEO ENEC Mohamed Ibrahim al-Hammadi mengungkapkan, Dubai kini semakin bisa mewujudkan upaya untuk menyuplai seperempat pasokan listrik. “PLTN juga bisa memperkuat pertumbuhan masa depan dengan aman dan listrik bebas emisi,” ujar Al-Hammadi, dilansir Reuters. PLTN itu mampu menghasilkan 5.600 megawatt dan UEA tidak mengumumkan investasi untuk proyek tersebut.