Putin: Rusia Harus Jadi Republik Presidensial yang Kuat
MOSKOW – Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan negaranya harus menjadi republik presidensial yang kuat. Pernyataan itu muncul saat ditanya tentang kemungkinan masa transisi saat dia menyelesaikan jabatannya pada 2024.
Pekan lalu, Putin mengusulkan perubahan konstitusi yang akan memberinya wewenang untuk memperpanjang cengkeraman kekuasaan setelah meninggalkan jabatan presiden. Perubahan itu diusulkan karena sesuai konstitusi dia tidak dapat maju lagi dalam pemilu presiden.
Beberapa isi perubahan itu termasuk mengurangi wewenang presiden dan menambah wewenang perdana menteri (PM). Rencana ini memicu spekulasi bahwa Putin mungkin ingin kembali ke posisi PM seperti sebelumnya pada 2008 hingga 2012.
“Negara kita, tentu, harus menjadi republik presidensial yang kuat. Itu hal pertama. Dan kemudian, kita memiliki sangat banyak kelompok etnik, kewarganegaraan, cara hidup, itu praktis mustahil diintegrasikan dalam kerangka kerja republik parlementer,” papar Putin dalam komentar yang tampaknya bertentangan dengan pesannya pekan lalu.
Pernyataan Putin, 67, muncul saat dia bertemu para mahasiswa Rusia di resor Sochi, Laut Hitam. Acara itu ditayangkan di televisi nasional.
Ditanya oleh seorang mahasiswa tentang apakah Rusia harus mempertimbangkan membentuk lembaga transisi seperti di Singapura, Putin menyatakan ide itu tidak tepat bagi Rusia.
Pendiri Singapura modern, Lee Kuan Yew ditunjuk sebagai Menteri Mentor dalam posisi penasehat setelah dia pensiun dari politik aktif, untuk membantu menciptakan stabilitas.
“Dia seorang pria luar biasa. Itu benar, dia, saya tidak tahu, sekitar 30 tahun berkuasa, dan dia mendirikan negara itu, itu benar. Anda ingin saya menjadi Menteri Mentor?” tanya Putin.
“Apa yang Anda usulkan, akan merusak lembaga kepresidenan. Saya pikir untuk negara seperti Rusia ini tidak dapat diterapkan,” kata Putin yang telah mendominasi politik Rusia sebagai presiden atau perdana menteri selama dua dekade terakhir.