PM Thailand Dituntut Mundur, Demonstran Gunakan Medsos untuk Propaganda
BANGKOK – Demi membangkitkan semangat perlawanan dan menggalang simpati, para pengunjuk rasa antimonarki di Thailand menggunakan media sosial sebagai alat propaganda.
Para pengunjuk rasa yang didominasi anak muda Thailand itu terus menekan Perdana Menteri (PM) Pruyuth Chanocha untuk mengundurkan diri dengan tenggat waktu selama tiga hari. Mereka juga menuntut pengurangan kekuasaan kerajaan dan menyerukan solusi berdirinya Republik Thailand.
Demonstrasi kini menjadi suatu gaya karena sebagian besar pesertanya adalah anak muda yang merupakan generasi milenial. Mereka membawa payung untuk melawan serangan gas air mata yang ditembakkan polisi. Mereka juga mengenakan helm dan masker gas hingga flashmob hingga bahasa tangan. Gaya tersebut diadopsi dari para demonstran Hong Kong.
Ketika para pemimpin demonstrasi telah ditangkap, para pengunjuk rasa justru menyerukan “Kita semua adalah pemimpin saat ini”. “Mereka (pemerintah) mengira bahwa dengan menangkap para demonstran akan menghentikan kita,” ujar Pla (24) seorang demonstran di Bangkok. “Itu tidak akan berdampak. Kita adalah pemimpin saat ini,” imbuhnya.
Apa yang dilakukan para demonstran Hong Kong juga menganggap semua pengunjuk rasa adalah pemimpin. Itu setelah para pemimpin mereka ditangkap. Pengambilan keputusan pun dilakukan melalui forum online dan menggunakan aplikasi percakapan melalui Telegram sehingga bisa melakukan mobilisasi massa.
Penggunaan Telegram telah mengalami peningkatan tajam dalam beberapa bulan terakhir. Para demonstran menggunakannya untuk mengordinasi aksi seiring dengan pengetatan aturan oleh pemerintah.
Grup Telegram, yakni Free Youth, menjadi kelompok yang beranggotakan 200.000 orang. Akibatnya pemerintah Thailand memblokir Telegram. Selain itu, grup di Facebook juga sangat populer. Berbagai informasi mengenai pelaksanaan dan lokasi demonstrasi serta keberadaan polisi beredar cepat dan luas melalui grup tersebut.
“Demonstran Thailand kini mencoba tetap merata sehingga menerapkan kepemimpinan yang terbuka,” kata Aim Sinpeng, pakar politik dari Universitas Sydney, dilansir BBC. “Ini sangat berbeda dengan demonstran masa lalu di Thailand yang cenderung personalisasi di tangan pemimpin untuk memengaruhi masyarakat,” katanya.Dengan menggunakan tagar #everybodyisaleader mampu mengubah gerakan demokrasi di Thailand. “Itu juga bisa melindungi mereka dari persekusi pemerintah,” papar Aim yang meneliti politik digital di Asia Tenggara.
Kemudian, para demonstran juga menggunakan bahasa tubuh baru yang diadopsi dari para pengunjuk rasa di Hong Kong. Jika seorang demonstran membentuk jarinya berbentuk segitiga, maka menunjukkan mereka membutuhkan helm. Jika melintangkan jari, menunjukkan ada orang yang terluka
“Sejak pengeras suara dilarang, para aktivis mulai menggunakan metode komunikasi yang efektif,” kata Wasana Wongsurawat, pakar politik Universitas Chulalongkorn.
Konsep telepon hutan juga digunakan untuk mengantisipasi ketika ada polisi antihuru-hara yang datang. Seseorang mengatakan berulang kali bahwa ada mobil meriam air yang datang. “Hanya dalam waktu dua menit, maka seluruh demonstran akan mengetahui informasi tersebut,” ujar Wasana.
Demonstran Hong Kong dan Thailand juga memiliki akar keprihatinan yang sama. Di Thailand, para demonstran menuntut pengunduran diri PM Prayuth. Mereka juga ingin mereformasi kekuasaan Kerajaan Thailand. Di Hong Kong, para pengunjuk rasa menuntut pengunduran diri pemimpin eksekutif Carrir Lam dan memprotes intervensi politik Beijing.
Baik demonstran di Hong Kong, Thailand, maupun Taiwan juga membentuk the Milk Tea Alliance, koalisi online yang merujuk pada minuman klasik populer di tiga negara tersebut. Para pemimpin aksi Thailand kerap mengatakan bahwa gerakan Hong Kong mampu menginspirasi mereka. Para aktivis Hong Kong juga memberikan panduan mengenai pakaian perlindungan, keamanan internet, dan bagaimana memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan.
Generasi baru pengunjuk rasa di Thailand dan Hong Kong masih berpijak pada aktivisme generasi muda. Mereka juga sangat ahli memanfaatkan teknologi.
“Budaya protes di Thailand pada 2020 merupakan budaya demonstrasi para pengguna internet,” kata Wasana. Itu karena para pengunjuk rasa memang terbiasa menyebarkan pesan melalui media sosial. “Mereka tidak perlu belajar melawan mobil meriam air dan gas air mata,” ujarnya.
Peneliti Universitas Nottingham di Malaysia, Bridget Welsh, mengatakan memang telah terjadi perubahan pergerakan di Asia Tenggara. “Para aktivis demokrasi di Thailand, Hong Kong, serta Indonesia dan Malaysia terus beradaptasi melawan pemerintahan yang otoriter,” ujar Welsh.