Pilpres Amerika, Trump Kembali Gelorakan Perang Psikologis
WASHINGTON – Donald Trump yang kini menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai politisi yang gamblang. Dia tak segan menabuh perang psikologi dengan lawan politiknya demi memenangi berbagai argumen.
Karakter itu sudah tertanam di dalam diri Trump sejak dia terjun ke dunia politik. Selama mengikuti debat ketiga calon presiden (capres) 2016, Trump banyak melontarkan pernyataan yang memancing emosi lawan politiknya. Saat itu, dia pernah menolak menjawab terkait penerimaan hasil pemilihan presiden (pilpres) dan dikritik Hillary Clinton.
“Saya akan melihatnya nanti dan akan membuat anda semua tegang,” ujar Trump yang menuduh perlombaan pilpres sudah diatur sedemikian rupa agar dirinya kalah. “Itu bukanlah bagaimana demokrasi bekerja,” timpal Hillary dari Partai Demokrat yang menggalang banyak dukungan di dalam jajak pendapat, tapi akhirnya kalah.
Empat tahun berlalu, AS kembali menyaksikan fenomena sikap non-demokratis serupa. Trump kembali menuduh seluruh sistem pilpres sudah diatur untuk mengunggulkan Joe Biden dan mengaku tidak akan mengakui kemenangan politisi Partai Demokrat itu. Masyarakat AS sadar bahwa Trump kurang tertarik atau menghargai demokrasi.
Sejak awal Trump sangat terbuka terkait ketidakpatuhannya terhadap nilai-nilai demokrasi. Hal itu terlihat selama dia menjabat sebagai presiden, terutama dalam penggunaan kekuasaan eksekutif dan kekuasaan. Gaya kepemimpinannya juga disebut mirip pemimpin otoriter yang menunggangi demokrasi demi tetap menduduki kekuasaan.
“Manipulasi informasi selalu menjadi kunci suksesnya pemimpin otoriter,” ujar Ruth Ben-Ghiat, profesor Sejarah dari New York University, dikutip CNN. “Pemimpin seperti itu tidak menyebarkan propaganda secara masif, tapi secara pintar. Mereka akan menggunakan informasi untuk mengendalikan masyarakat demi tetap berkuasa,” ujarnya.
Seperti dilansir Washington Post, Trump telah melakukan lebih dari 20.000 kebohongan sejak menjabat sebagai presiden pada 2017. Namun, apa yang dia sembunyikan juga dinilai menarik untuk dikaji. Sejauh ini Trump beserta jajarannya berupaya untuk tidak memublikasikan tax return para pebisnis yang menerima paket bantuan Covid-19.
Trump juga dituduh mencoba menyembunyikan hasil pilpres 2020 demi menjaga kelanggengannya sebagai presiden. Sama seperti pemimpin otoriter lainnya, dia tidak meyakini harus melayani rakyat. Sebaliknya, rakyat yang harus melayani dirinya. The Campaign Legal Center juga menuduh Trump melanggar aturan keuangan kampanye. “Trump hanya peduli terhadap pendukungnya. Meski demikian, dia tetap membuat mereka bergantung kepada dirinya dan tidak mempercayai siapa pun,” kata Ruth. Untuk melengkapi strategi politiknya, Trump menyebarkan kebingungan dan memaksa publik menciptakan teori konspirasi, tak terkecuali selama pandemi.
Ketidakjelasan informasi ini dinilai sebagai salah satu senjatanya selama perang psikologi dengan Biden sehingga kepercayadirian institusi yang mengandalkan data keras menurun. Media massa dan akademisi yang menulis tentang Covid-19 atau perubahan iklim akan langsung diserang serta dituduh sebagai penyebar hoaks.
Serangan serupa juga dilepaskan Trump selama kampanye Pilpres AS 2020 sehingga banyak warga AS ragu suaranya akan dihitung. “Para ahli berhipotesis Trump mengeksploitasi berbagai celah untuk memperlambat perhitungan hasil pilpres agar melewati deadline sehingga terpiculah Electoral Count Act. Dia berharap bisa menang,” kata Ruth.
Fokus Wilayah Pertama
Sejak sembuh dari Covid-19, Trump telah memulihkan kampanye, terutama di layar kaca. Dia kini fokus mengemukakan visi dan misinya di wilayah yang lebih awal melakukan pencoblosan. Kepala tim sukses Trump, Bill Stepien, berupaya menyebarkan iklan dalam berbagai platform dan format agar masyarakat semakin sadar tentang visi misi Trump.
“Kami memasang iklan baru di depan Joe Biden. Dia telah membawa lebih banyak orang kiri dibandingkan Bernie Sanders,” kicau Trump di Twitter. Namun, penasihat Trump menolak memaparkan lebih detail terkait kampanye itu. Berdasarkan agenda, wilayah pertama yang menggelar pilpres ialah Florida, Michigan, North Carolina, dan Pennsylvania.
Stepien mengatakan iklan kampanye juga akan ditayangkan di televisi berbayar dan gratis. Kemarin, dia telah menggelar pertemuan dengan staf yang lain untuk merundingkan strategi kampanye. Semangat itu tidak terlepas dari keberhasilan mereka memulihkan popularitas Trump, setidaknya dia kini sejajar dengan Biden.
“Semua iklan kampanye yang dipasang harus berorientasi pada tujuan dan sesuai dengan aturan politik yang ada di negeri ini (AS),” kata Stepien. “Semua tindakan itu akan masuk dalam malapraktik jika kami tidak berhati-hati. Kami harus bisa membelanjakan anggaran kampanye ini dengan pesan yang benar di tempat yang tepat,” ujarnya
Dengan sisa waktu kurang lebih sebulan lagi, Trump dan Biden terus menggencarkan kampanye. Namun, keduanya memiliki strategi berbeda. Trump lebih senang memilih kampanye iring-iringan yang melibatkan ribuan orang, sedangkan Biden memilih kampanye dengan peserta terbatas demi mematuhi protokol kesehatan.