Mengapa Serangan Rusia ke Ukraina Kian Agresif Setelah Kunjungan Jokowi? Ini Analisis Pengamat
JAKARTA – Serangan Rusia ke Ukraina tampaknya kian agresif setelah kunjungan Presiden Jokowi ke dua negara yang sedang berperang itu.
Kemarin, Senin (4/7/2022), Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan Menteri Pertahanan Sergei Shoigu melanjutkan serangan besar-besaran di Ukraina setelah pasukannya menguasai seluruh wilayah Luhansk.
“Unit militer, termasuk kelompok Timur dan kelompok Barat harus melaksanakan tugas mereka sesuai dengan rencana yang telah disetujui sebelumnya,” bunyi perintah Putin kepada Shoigu seperti dikutip dari Straits Times.
Kunjungan Jokowi Tidak Berpengaruh?
Pakar Hhukum internasional, Hikmahanto Juwana, menanggapi meningkatnya eskalasi serangan Rusia ke Ukraina pascakunjungan Jokowi.
Menurut dia, kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia bukan sekadar membawa misi gencatan senjata semata tetapi tentang supply chain pangan.
Hikmahanto mengatakan gencatan senjata bukan sesuatu yang instan dan langsung diberlakukan.
Jika pun ada gencatan senjata, kata dia, ini bukan gencatan senjata yang ditandatangani oleh pemimpin dari dua negara yang bertikai.
“Kita tahu bahwa kalau seperti ini mungkin ada rencana-rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya,” kata Hikmahanto seperti dikutip dari Kompas.TV pada Selasa (5/7/2022).
“Tapi yang pasti, Bapak Presiden bukan membawa misi sekadar gencatan senjata. Tapi, Bapak Presiden bicara tentang supply chain pangan yang akan terganggu kalau perang ini terus berlanjut,” katanya menambahkan.
Menurut dia ini merupakan hal cerdas yang dilakukan oleh Jokowi, dalam arti tidak berbicara bahwa nantinya akan ada gencatan senjata atau tidak.
“Tetapi, Bapak Presiden minta, misalnya ketika di Jerman dalam pertemuan G7 bicara soal supply chain pangan terkait dengan negara berkembang. Itu juga yang beliau bicarakan dengan Presiden Zelenskyy dan Presiden Rusia,” kata Hikmahanto.
Ia menambahkan bahwa ketika berbicara tentang misi perdamaian, tentu tidak mendamaikan konflik yang muncul antara kedua negara ini.
Bahkan, kata dia, Jokowi tidak berbicara mengenai konflik antara Rusia dengan Amerika Serikat dan sekutunya di Ukraina tersebut.
Kalau pun berbicara soal gencatan senjata. Dalam konteks supply chain pangan ini, Jokowi disebutnya sudah berhasil membuat Rusia menyetujui untuk berhenti memblokade pengiriman gandum dari Ukraina.
“Misalnya permintaan dari Presiden Zelenskyy agar gandum yang dari Ukraina itu bisa diekspor, dan Rusia sudah menyetujui.”
“Tetapi ingat, bukan berarti serangan dihentikan, tapi, ‘Saya tidak lagi melakukan blokade-blokade yang selama ini saya lakukan’,” lanjutnya
Artinya, lanjut Hikmahanto, dari sisi itu sudah tercapai pesan yang dibawa oleh Presiden Jokowi.
“Bahwa kalau misalnya gencatan senjata apakah akan tercapai atau tidak, itu kita harus menunggu. Karena sekali lagi saya katakan, perlu proses untuk supaya terjadi gencatan senjata.”
Jika Jokowi tidak melakukan kunjungan dan upaya perdamaian, Hikmahanto menilai Indonesia tidak akan pernah dicatat dalam sejarah bahwa saat memegang Presidensi G20, Indonesia tidak berupayan melakukan ”penghadiran perdamaian gencatan senjata”.
Kedua, kata dia, konstitusi mengamanatkan kita untuk turut dalam ketertiban dunia.
Bahkan Hikmahanto menyebut bahwa dunia sekarang tidak tertib, bahkan akan berdampak pada negara berkembang, yang dalam pidato Jokowi di Rusia, itu berdampak pada ratusan juta bahkan miliaran orang.
“Ketiga, Bapak Presiden mengatakan pesan, kalau dalam bahasa Inggris mungkin waktu diskusi, mungkin dia bilang ‘I got the message’ ‘saya dapat pesan Anda’.”
“Pesan itu maksudnya bukan pesan khusus. Tetapi mungkin ditafsirkan oleh istana kepresidenan Putin, bahwa seolah-olah ada pesan khusus pada Presiden Putin,” tegasnya.
Tidak Berefek Langsung
Pengamat Hukum dan Militer Rusia, Raymond Sihombing menyatakan bahwa lawatan Jokowi tidak bisa efek langsung.
Pasalnya apa yang dilakukan Jokowi adalah diplomasi jangka panjang.
“Kita tidak bisa bilang bahwa begitu Presiden Jokowi pulang dari Moskow, langsung damai. Tetapi setidaknya dari beberapa media, di sini yang saya catat ada RIA Novosti, TASS, Interfax, Kommersant, dan juga RBK yang swasta dan beberapa yang pro-Ukraina itu mencatat positif kedatangan Presiden Jokowi,” kata Raymond dikutip dari Kompas.TV.
Raymond menyebut dengan kunjungan Jokowi, Indonesia sudah menunjukkan netralitas dalam menyikapi perang Rusia-Ukraina.
Bahkan, ia mengklaim kunjungan itu sebagai dukungan terhadap Moskow yang berupaya menghapus “unipolarism” sekaligus peringatan agar Rusia segera menghentikan perang.
“Apa yang dilakukan Presiden Jokowi itu sudah kuat secara simbol dan secara moral buat Rusia,” kata Raymond.
Lebih lanjut, Raymond menganggap mundurnya pasukan Rusia dari Pulau Ular di Laut Hitam sedikit dipengaruhi oleh kunjungan Jokowi.
Garnisun Rusia di Pulau Ular ditarik mundur per 30 Juni lalu seiring gencarnya serangan Ukraina ke sana.
Kementerian Pertahanan Rusia mengaku langkah itu ditempuh sebagai “wujud niat baik” atas upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuka koridor laut untuk ekspor produk pertanian Ukraina.
Selain itu, direbutnya Oblast (daerah setingkat provinsi) Luhansk oleh Rusia juga disebut Raymond sebagai “simbol” bahwa tindakan Kremlin mengarah ke perdamaian.
“Itulah exit strategy Rusia, dan mereka tidak mengatakan itu. Mereka juga agak gengsi bilang ‘ya, ini kan, karena Indonesia’, tetapi kita tahu Indonesia ada pengaruh di situ,” katanya.
Raymond menambahkan bahwa juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengakui ada pembicaraan Jokowi dan Putin yang belum dibuka ke publik.
Menurutnya, itu merupakan “bahasa komunikasi diplomasi” antara kedua kepala negara.
Di lain sisi, Raymond menyampaikan kecurigaan bahwa isu efektivitas kunjungan Jokowi yang diperdebatkan di Indonesia terkait politik praktis jelang Pemilihan Presiden 2024.
“Saya sendiri sebagai WNI yang ada di Rusia dan melihat apa yang terjadi di Rusia dan respons positif masyarakat serta pemberitaan media Rusia, saya pikir tidak seperti itu (kunjungan Jokowi dianggap tak efektif),” kata Raymond.
Kunjungan Jokowi Diklaim Sukses
Anggota Komisi I DPR RI, Effendi Simbolon, menilai misi yang dibawa oleh Presiden Jokowi ke Ukraina dan Rusia sudah berhasil.
“Yang pasti berhasil. Saya orang yang pertama ingin menyalami beliau,” kata Effendi dikutip dari Kompas.TV.
Meski demikian, Effendi juga menyebut bahwa hasil dari kunjungan Jokowi ke kedua negara tersebut tidak harus dinilai dengan berhasil atau gagal.
“Saya kira enggak harus result-nya berhasil atau gagal ya. “Memang sejak awal kehadiran beliau itu tidak untuk misi perdamaian, karena bukan menjadi, menawarkan, dan seterusnya. Kan protokolnya tidak seperti itu,” ucapnya.
Effendi menambahkan, sejak awal, ketika ia dan beberapa pihak lain melakukan rapat pascainvasi militer Rusia, ia sudah mengusulkan agar Jokowi menengahi masalah Rusia-Ukraina.
“Saya menyampaikan harapan agar bapak presiden kita sebagai Presidensi G20 agar proaktif menjembatani atau menengahi masalah Rusia dengan G7 atau Ukraine.”
Menurutnya, ia juga bernazar saat menyampaikan di forum raker bersama Menteri Luar Negeri (Menlu), karena itu suasananya terlihat pesimistis.
“Jujur waktu itu suasananya sangat pesimis. Bahkan suara saya itu dianggap, ngapain.”
Effendi juga menyebut bahwa tujuan Jokowi ke Ukraina dan Rusia hanya empat.
“Pertama, beliau memang menyampaikan keprihatinan dan harapan untuk perdamaian.”
“Kedua, untuk jaminan supply food, dan energi, yang ketiga,” tuturnya.
Tujuan keempat adalah mengundang untuk hadir pada kegiatan G20.
“Nah, bahwa ada masalah gandum di wilayah Ukraine yang diblokade oleh Rusia, itulah yang mungkin disalahartikan, seolah-olah pesan itu yang dibawa oleh the messenger ini kepada Bapak Presiden Putin.”