Laporan CAR: BIN Gunakan Mortir dari Serbia di Papua
Jakarta -Kelompok pemantau senjata yang berbasis di London, Conflict Armament Research atau CAR, melaporkan, ada hampir 2.500 mortir dari Serbia yang dibeli untuk Badan Intelijen Negara atau BIN pada tahun lalu digunakan dalam serangan di Papua.
Seperti dilansir Reuters Ahad 5 Juni 2022, mortir tersebut diklaim digunakan dalam manuver udara, yang beberapa digunakan dalam serangan di delapan desa di Papua.
CAR mengatakan, mortir itu diproduksi oleh pembuat senjata milik negara Serbia, Krusik. Cara kerjanya sedikit dimodifikasi. Alih-alih ditembakkan dari tabung mortir, mereka dijatuhkan dari udara.
Senjata yang dikirim ke BIN, menurut CAR, juga termasuk 3.000 inisiator elektronik dan tiga perangkat pengatur waktu yang biasanya digunakan untuk meledakkan bahan peledak.
CAR, seorang saksi mata, dan penyelidik hak asasi manusia yang bekerja atas nama beberapa kelompok gereja, kompak mengatakan, peluru mortir 81mm itu digunakan dalam serangan pada Oktober di desa-desa di Papua.
Helikopter dan drone sejak 10 Oktober 2021 menembak dan menjatuhkan amunisi di delapan desa di distrik Kiwirok selama beberapa hari.
“Jelas bahwa mortir ini adalah senjata ofensif yang digunakan di wilayah sipil,” kata Jim Elmslie, penyelenggara Proyek West Papua di Universitas Wollongong, yang menyerahkan laporan CAR ke Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB pada April. “Ini adalah pelanggaran hukum humaniter.”
“Mereka menjatuhkan bom dengan pesawat tak berawak,” kata Pastor Yahya Uopmabin kepada Reuters. Yahya menambahkan bahwa dia menyaksikan serangan itu dari pegunungan terdekat, tempat pelarian banyak penduduk. “Tempat ibadah, rumah warga dibakar.”
Eneko Bahabol, seorang penyelidik Papua yang bekerja untuk sebuah konsorsium delapan kelompok hak asasi manusia dan gereja, mengatakan 32 mortir dijatuhkan, termasuk lima yang tidak meledak. Reuters telah melihat foto-foto mortir yang tidak meledak.
Foto-foto dari CAR menunjukkan mortir membawa tanda-tanda pembuat senjata milik negara Serbia.
Samuel Paunila, kepala tim penasehat manajemen amunisi di Pusat Internasional Jenewa untuk Penghapusan Ranjau Kemanusiaan, membenarkan bahwa mortir tersebut memiliki tanda Krusic. Eneko dan Yahya mengatakan, tidak ada yang terbunuh dalam serangan itu, meskipun fasilitas publik hingga rumah warga dibakar.
Aspek-aspek tertentu dari laporan CAR, termasuk apakah BIN telah menerima kiriman tersebut belum bisa dipastikan. Soal siapa yang mengizinkan pembelian amunisi atau yang menggunakannya di Papua juga belum diketahui.
BIN dan Kementerian Pertahanan belum menanggapi permintaan komentar Reuters tentang pembelian atau penggunaan mortir tersebut.
Tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengatakan kepada Reuters, bahwa dugaan pengadaan BIN itu tidak diungkapkan kepada komite pengawasan parlemen yang menyetujui anggarannya. DPR akan menggelar sidang tertutup pekan depan dengan BIN. Sumber dari anggota komisi mengatakan, pembelian senjata akan dibahas.
Mantan jenderal yang juga duduk di komite parlemen yang membawahi BIN, Tubagus Hasanuddin, mengatakan bahwa badan intelijen dapat memperoleh senjata ringan untuk pertahanan diri agennya.
Akan tetapi, setiap senjata kelas militer itu harus untuk tujuan pendidikan atau pelatihan, bukan untuk tujuan tempur.
“Kita perlu melakukan audiensi terlebih dahulu dengan BIN dan memeriksa alasannya. Setelah itu kita akan memeriksa legalitasnya,” katanya.
Seorang juru bicara militer Indonesia, Kolonel Wieng Pranoto, mengatakan kepada Reuters bahwa pasukannya tidak menjatuhkan amunisi di desa-desa. Dia menolak mengatakan apakah BIN menyebarkan amunisi.
BIN adalah lembaga pemerintah non-kementerian di bawah otoritas langsung Presiden Joko Widodo, atau yang lebih dikenal sebagai Jokowi. Kantor kepresidenan juga belum menanggapi permintaan komentar tentang pembelian atau penggunaan senjata tersebut.
Hukum Indonesia mengharuskan militer, polisi, dan lembaga pemerintah lainnya untuk meminta izin dari Kementerian Pertahanan untuk membeli senjata, dan mengharuskan mereka untuk menggunakan bahan yang diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri jika tersedia.
Perusahaan pembuat senjata milik negara PT Pindad memproduksi mortir, dan mereka adalah bagian dari persenjataan angkatan bersenjata.
Sumber kementerian pertahanan yang mengetahui sistem pengadaan mengatakan kementerian tidak pernah menyetujui pembelian atau peraturan apa pun yang memungkinkan BIN memperoleh amunisi. “Ini menimbulkan pertanyaan mengapa BIN menginginkan mereka,” kata sumber.
Anggota DPR lain yang membawahi BIN mengatakan, dirinya sendiri yang menyelidiki temuan dalam laporan CAR untuk menentukan apakah ada kesalahan. Dia mengatakan telah mendekati BIN dan PT Pindad untuk meminta penjelasan tetapi menemukan hambatan besar. “Pasti ada sesuatu yang sangat, sangat sensitif tentang itu,” katanya kepada Reuters.
Juru bicara dan kantor kepala eksekutif PT Pindad tidak menjawab pertanyaan rinci dari Reuters tentang bagaimana mortir itu diperoleh atau siapa yang menggunakannya.
Salah satu komisaris perusahaan, Alexandra Wuhan, menolak untuk membahas secara spesifik pembelian. Walau begitu, Wuhan mengatakan, Pindad berkewajiban dan tunduk pada hukum, aturan, dan peraturan Indonesia tentang pengadaan senjata militer dan sipil, begitu juga BIN sebagai pengguna akhir.
“Pindad tidak dapat bertanggung jawab atas kapan dan di mana senjata digunakan oleh pihak berwenang Indonesia. Kami tidak memiliki kendali seperti itu.”
CAR menganalisis foto-foto persenjataan yang digunakan dalam serangan di Papua dan secara resmi meminta informasi tentang peluru tersebut dari pemerintah Serbia melalui misi negara tersebut di PBB di New York pada 26 November.
Duta Besar Serbia untuk PBB, Nemanja Stevanovic, memberikan tanggapan pada 31 Desember dalam sebuah “note verbale“, komunike diplomatik formal. James Bevan, direktur eksekutif CAR, mengatakan informasi dalam komunike itu menjadi dasar laporannya.
CAR menolak untuk membagikan tanggapan Serbia, dengan alasan protokol. Stevanovic, dan Misi PBB Serbia, tidak menanggapi permintaan Reuters untuk membagikan catatan verbal.
Laporan itu mengatakan Serbia mengkonfirmasi Krusic membuat mortir berdaya ledak tinggi M-72, yang dijual ke pemasok senjata Serbia Zenitprom DOO pada Februari 2021 bersama dengan 3.000 inisiator elektronik dan perangkat pengatur waktu. Kelompok itu mengatakan, Amunisi tersebut kemudian diekspor oleh Zenitprom DOO ke PT Pindad untuk BIN.
Di awal proses pengadaan pada 6 Oktober 2020, BIN disebut memberikan sertifikat pengguna akhir kepada otoritas Serbia dengan No. R-540/X/2020, yang menegaskan bahwa mereka akan menjadi pengguna eksklusif barang dalam konsinyasi.
Amunisi itu juga dilaporkan tidak akan ditransfer atau dijual ke pihak lain tanpa izin dari pihak berwenang Serbia. Menurut laporan tersebut, Pemerintah Serbia mengatakan kepada CAR, bahwa tidak ada permintaan untuk mentransfer senjata sebelum serangan di Papua.
Dalam laporannya, CAR mengatakan Serbia mengkonfirmasi nomor lot pada cangkang yang digunakan di Papua sama dengan yang dibeli oleh BIN.
Beberapa rincian laporan yang belum bisa dipastikan, termasuk nomor lot yang cocok dengan mortir, transfer pengiriman amunisi ke BIN atau apakah BIN mematuhi sertifikat pengguna akhir. Siapa yang memodifikasi mortir atau mengapa BIN membeli timer dan penyala juga belum bisa dikonfirmasi.
CAR mengatakan BIN telah memberi pemerintah Serbia “sertifikasi verifikasi pengiriman”, meskipun Reuters tidak dapat secara independen mengkonfirmasi bahwa senjata telah tiba di tangan BIN.
Seorang pejabat di bagian pengawasan senjata Kementerian Perdagangan Serbia di Beograd dan kedutaan negara itu di Jakarta, tidak menanggapi permintaan komentar Reuters. Krusik dan Zenitprom DOO tidak menanggapi permintaan komentar.
Dalam beberapa tahun terakhir, Papua menjadi wilayah konflik. Pemberontakan kemerdekaan telah membara di Papua yang kaya sumber daya sejak 1969, ketika pemungutan suara yang diawasi PBB melibatkan hanya sekitar 1.025 orang, menyebabkan Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Menurut sebuah pernyataan oleh tiga pelapor khusus PBB pada Maret, situasi keamanan di Papua telah “memburuk secara dramatis” sejak April 2021, ketika separatis membunuh kepala kantor BIN Papua dalam penyergapan. Mereka mengatakan ada “pelanggaran yang mengejutkan” oleh pemerintah antara April dan November tahun lalu. Pemerintah Indonesia menolak pernyataan mereka.