Kudeta Militer Myanmar, 43 Anak-anak Dibunuh, Dipukul dan Ditembak
YANGON – Setidaknya 43 anak-anak dibunuh oleh personel Angkatan Bersenjata Myanmar sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu.
Menurut lembaga sosial Save the Children, Myanmar mengalami “situasi yang mengerikan”, dan korban meninggal termuda adalah bocah berusia tujuh tahun.
Organisasi pemantau itu mengatakan total korban meninggal dunia mencapai 536 orang.
Utusan Myanmar untuk Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperingatkan adanya risiko “pertumpahan darah yang tak dapat dihindari” ketika penumpasan semakin sengit.
Peringatan tersebut dikeluarkan menyusul pertempuran sengit antara tentara dan gerilyawan etnik minoritas di wilayah perbatasan.
Kekacauan di Myanmar bermula dua bulan lalu, ketika militer mengambil alih kendali negara menyusul kemenangan telak Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) pimpinan Aung San Suu Kyi.
Ketika puluhan ribu orang tumpah ke jalan-jalan menentang kudeta, militer menggunakan meriam air untuk membubarkan massa.
Sesudah seminggu, respons yang ditempuh militer berubah. Mereka kemudian menggunakan peluru karet dan peluru tajam.
Hari yang paling banyak memakan korban adalah Sabtu (27/03) ketika lebih dari 100 orang dibunuh.
Para saksi mata mengatakan tentara bersenjata menyerang warga secara membabi buta di jalan-jalan, dan sebagian korban bahkan dibunuh di rumah mereka sendiri.
Keluarga dari bocah tujuh tahun Khin Myo Chit mengatakan kepada BBC bahwa ia dibunuh oleh polisi ketika berlari ke arah ayahnya dalam penggerebekan di rumahnya di Mandalay pada akhir Maret.
“Mereka mendobrak pintu untuk membukanya,” kata kakaknya, May Thu Sumaya, 25.
“Ketika pintu terbuka, mereka menanyakan kepadanya apakah ada orang lain di rumah,” terangnya.
Ketika dijawab tidak, mereka menuduhnya berbohong dan mulai menggeledah rumah.
Saat itulah Khin Myo Chit berlari ke arah ayah mereka untuk duduk di pangkuannya. “Kemudian mereka menembak dan memukulnya,” lanjutnya.
Korban lain dari kelompok umur anak adalah seorang anak laki-laki berusia 14 tahun yang diyakini ditembak di dalam rumah atau di dekat rumah di Mandalay, dan seorang anak berusia 13 tahun yang ditembak di Yangon ketika sedang bermain di jalan.
Lembaga sosial Save the Children memperingatkan jumlah jumlah anak-anak yang terluka dalam bentrokan kemungkinan juga tinggi, dan memberikan contoh kasus seorang bayi satu tahun yang dilaporkan kena tembakan peluru karet pada mata.
Save the Children mengatakan kekerasan tersebut berdampak pada kesehatan mental anak-anak karena mereka mengalami ketakutan, kesedihan dan stres.
“Anak-anak menyaksikan kekerasan dan horor,” ungkap lembaga itu.
“Jelas Myanmar tidak lagi aman bagi anak-anak,” ujarnya.
Hingga kini penguasa militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing belum memberikan tanggapan atas jatuhnya korban di pihak anak-anak.
Kekerasan yang terjadi di negara itu telah dikecam masyarakat internasional.
Berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Inggris, menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin kudeta dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan militer.
Sementara itu, pengacara Aung San Suu Kyi Min Min Soe, seperti dilaporkan kantor berita Reuters, pemimpin sipil yang digulingkan Aung San Suu Kyi dikenai dakwaan lebih lanjut, bersama dengan empat politikus lain. Suu Kyi dijerat dengan undang-undang rahasia negara keluaran zaman penjajahan.
Ia telah dikenai dakwaan mempunyai walkie-talkie secara ilegal, melanggar pembatasan Covid-19 dalam kampanye tahun lalu, menerbitkan informasi yang mungkin “menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran”.
Menurut Min Soe, Suu Kyi yang dihadirkan dalam sidang dari tahanan, mungkin tidak tahu apa yang terjadi di luar.
“Jika melihat apa yang terjadi pengadilan kemarin dan hari ini, kami tidak bisa mengetahui apakah Ibu tahu situasi di luar, atau tidak. Mungkin ia tahu, mungkin juga tidak,” jelasnya.