KTT Berlin Sepakati Penghentian Campur Tangan Asing di Libya
NAGALIGA — Sejumlah pemimpin dunia yang hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Berlin berkomitmen untuk mengakhiri campur tangan asing dalam perang Libya meski gagal menghadirkan gencatan senjata.
Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron termasuk di antara para pemimpin yang menandatangani rencana untuk berhenti mencampuri perang tersebut, baik itu melalui pasokan senjata, pasukan, ataupun pembiayaan.
Hal itu terlihat dari poin-poin yang disepakati pada komunike akhir negara-negara peserta. Kesepakatan ini nantinya diajukan sebagai resolusi Dewan Keamanan PBB.
Dikutip dari AFP, salah satu bunyi kesepakatan itu adalah bahwa peserta KTT Berlin, “Berkomitmen untuk menahan diri untuk campur tangan dalam konflik bersenjata atau dalam urusan internal Libya dan mendesak semua aktor internasional untuk melakukan hal yang sama”.
“Kita memiliki situasi yang sangat berbeda di Libya, karena sama sekali tak mudah menjamin gencatan senjata dihormati,” kata Kanselir Jerman Angela Merkel, yang merupakan tuan rumah KTT, Senin (20/1) dikutip dari AFP.Namun, pembicaraan itu gagal untuk menghasilkan “dialog serius” antara pihak-pihak yang bertikai, yakni Khalifa Haftar dan kepala pemerintah yang diakui PBB, Fayez al-Sarraj. Selain itu, KTT juga tak mampu membuat kedua belah pihak menandatangani gencatan senjata permanen.
“Tapi saya berharap melalui konferensi hari ini, kita memiliki peluang gencatan senjata akan berlangsung lebih lama,” imbuhnya.
Diketahui, Libya terbelah oleh pertempuran antara faksi-faksi bersenjata yang bersaing sejak pemberontakan yang didukung NATO pada 2011 yang menewaskan diktator Moamar Kadhafi.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyebut konflik Libya memanas dalam beberapa hari terakhir.
“Sampai sekarang kita memiliki eskalasi konflik Libya dengan beberapa campur tangan asing. Sekarang kita menghadapi risiko eskalasi regional yang sebenarnya. Dan risiko itu dihindari di Berlin,” katanya, seraya menambahkan bahwa kekuatan dunia telah membuat “komitmen kuat” untuk menghentikan konflik.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan KTT Berlin gagal untuk memulai pembicaraan yang diperlukan antara Sarraj dan Haftar.
“Jelas bahwa kami belum berhasil menghasilkan dialog serius dan stabil di antara mereka,” kata dia kepada wartawan seusai KTT Berlin.
Namun demikian, Lavrov mengklaim partai-partai di Libya telah memulai “kemajuan kecil”.
Diberitakan sebelumnya, pasukan Sarraj di Tripoli diserang pasukan Haftar sejak April. Bentrokan ini disebut menewaskan lebih dari 280 warga sipil dan 2.000 pejuang, puluhan ribu warga mengungsi. Gencatan senjata yang “rapuh” yang didukung oleh Ankara dan Moskow kemudian diberlakukan pada 12 Januari.
Meskipun pemerintah Sarraj diakui oleh PBB, sejumlah “pemain” kuat berdiri di belakang Haftar. Konflik domestik di Libya pun menjadi perang proxy, di mana kekuatan dunia bersaing mengamankan kepentingannya sendiri lewat aktor-aktor lokal.
Pasukan Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Sarraj didukung oleh Turki dan Qatar, sementara Haftar mendapat sokongan dari Rusia, Mesir, dan Uni Emirat Arab.
Rusia sendiri dituding mengirim tentara bayaran untuk membantu Haftar demi memperluas pengaruhnya di kawasan. Namun, tuduhan itu dibantah Moskow.
Sementara, Turki berkepentingan karena tumbangnya Sarraj dapat membahayakan perjanjian batas laut. Perjanjian ini sendiri memberi Ankara hak luas atas Mediterania Timur, tempat cadangan gas bawah laut baru-baru ini ditemukan.
Kekhawatiran internasional meningkat dalam beberapa pekan terakhir setelah Turki memerintahkan pasukannya untuk menopang pemerintahan Sarraj.
Jelang perundingan, pasukan Pro-Haftar memblokir ekspor minyak di pelabuhan-pelabuhan utama Libya, melumpuhkan sumber pendapatan utama negara itu sebagai protes atas keputusan Turki untuk mengirim pasukan untuk mendukung Sarraj. Hal ini dikhawatirkan bisa memicu krisis minyak.
Erdogan kemudian mengecam Haftar dan menyebutnya harus menghentikan “sikap bermusuhan” jika Libya ingin mendapat peluang perdamaian.