Kremlin Berang atas Rencana G7 dan UE Rebut Aset Rusia, Sebut sebagai Pencurian Langsung
Kremlin buka suara terkait rencana G7 dan Uni Eropa untuk merebut cadangan aset Rusia yang dibekukan dan membelanjakannya atas nama Ukraina.
Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov, mengatakan kepada wartawan, tidak ada yang memberi tahu Rusia tentang rencana semacam itu.
Dikuti dari Reuters, menurutnya, jika rencana itu benar-benar dilaksanakan, adalah “ilegal, terang-terangan, dan tentu saja membutuhkan tanggapan yang tepat. Sebenarnya (rencana itu) adalah pencurian langsung.”
Seperti diketahui, Menteri Keuangan Jerman, Christian Lindner, dalam wawancara bersama harian bisnis Jerman dan tiga surat kabar lainnya, mengaku terbuka terkait gagasan menyita aset negara Rusia untuk membiayai rekonstruksi Ukraina.
“Saya secara politis terbuka untuk gagasan menyita aset asing Bank Sentral Rusia,” ujarnya, menambahkan bahwa rencana ini sudah dibahas di antara G7 dan Uni Eropa, sebagaimana dilansir Reuters.
“Dalam kasus aset pribadi, kita harus melihat apa yang mungkin secara hukum,” tambahnya.
“Kita harus menghormati hukum, bahkan jika berurusan dengan oligarki Rusia.”
Mengenai kebijakan fiskal Uni Eropa, Lindner mengindikasikan ia bisa terbuka untuk berkompromi tentang penanganan masa depan aturan utang Uni Eropa.
Meskipun iia tidak dapat mendukung reformasi dengan pelunakan kriteria Maastricht – tulang punggung aturan fiskal UE – dia mengatakan, “aturan fiskal harus lebih realistis dan efektif.”
“Tujuannya adalah agar semua ekonomi tumbuh dan memiliki keuangan publik yang berkelanjutan.”
“Saya menyarankan untuk menggabungkan jalur jangka panjang yang lebih kredibel untuk pengurangan utang dengan target jangka menengah yang fleksibel,” imbuhnya.
Rusia Tuding Isolasi G7 atas Moskow Jadi Penyebab Utama Krisis Pangan Global
Upaya barat dan kelompok G7 dalam mengisolasi Moskow, disebut sebagai penyebab utama dari terjadi krisis pangan global saat ini.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh kementerian internasional Rusia setelah para parlemen Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Britania Raya, serta Amerika Serikat yang tergabung dalam kelompok G7 pada Sabtu (15/5/2022) kemarin, menjatuhkan sanksi tambahan demi meningkatkan isolasi keuangan dan politik Rusia.
“Perlu diketahui bahwa tindakan sepihak negara-negara Barat, terutama dari Kelompok Tujuh, yang memperburuk masalah pemutusan logistik dan rantai moneter pasokan makanan ke pasar dunia,” kata kementerian internasional Rusia, dalam siaran pers di situs webnya.
Mengutip Reuters, isolasi tersebut dimaksudkan untuk menghentikan pemasukan Rusia agar Putin tak lagi dapat memasok kebutuhan senjata militernya, demi melancarkan serangan invasi ke Ukraina.
Namun, keputusan yang diambil Uni Eropa tak hanya memukul ekonomi Rusia saja, tetapi juga berimbas pada perekonomian dunia hingga memicu terjadinya krisis pangan masal.
Hal ini terjadi lantaran sanksi yang dikeluarkan Uni Eropa menyebabkan puluhan juta ton gandum Rusia gagal diekspor ke pasar global.
Sebagai informasi, Rusia adalah pemasok gandum terbesar, pentingnya pasokan gandum Rusia membuat negara beruang merah ini dinobatkan sebagai pemasok gandum utama dunia.
Dimana setiap tahunnya Rusia mampu mengirimkan cadangan gandumnya sebanyak 75,5 juta ton.
Menurut data statista Rusia, sebagian besar ekspor gandum tersebut dikirimkan ke pembeli yang berada diwilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Mesir dan Turki.
Akibat dari adanya sanksi G7, kini negara konsumen roti tersebut terancam tak dapat memenuhi kebutuhan pangan, karena pasokan gandum diwilayahnya menipis hingga memicu kenaikan harga hingga mencapai 40 persen.
Lonjakan inilah yang mendorong adanya inflasi pangan global tertinggi selama satu dekade, terlebih India baru-baru ini juga ikut memutuskan pelarangan ekspor gandum karena gelombang panas membatasi produksi dan harga domestik.
Tak hanya komoditi pangan saja yang tergangu, sanksi G7 dan sekutunya juga telah membuat lebih dari 13 persen atau 50 juta ton pupuk nutrisi tanaman dan tanah yang mengandung kalium, fosfat, dan nitrogen buatan Rusia gagal didistribusikan ke pasar global.
Hal inilah yang makin memperburuk masalah rantai makanan dunia.