Korut Pamer Rudal Baru, Korsel Desak Perundingan Damai
SEOUL – Korea Selatan (Korsel) mencari bantuan Amerika Serikat (AS) untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara (Korut). Itu dilakukan setelah Pyongyang memamerkan rudal balistik baru pada parade militer kurang dari seminggu sebelum pelantikan Joe Biden.
Dewan Keamanan Nasional Korsel menggelar pertemuan setelah Korut menggelar parade militer besar-besaran di Lapangan Kim Il-sung.
“Saat mengevaluasi situasi di Semenanjung Korea, termasuk hasil dari Kongres Partai ke-8 di Korea Utara, diputuskan untuk mengejar langkah-langkah terkait sehingga tidak akan ada celah dalam upaya untuk memajukan hubungan ROK-AS dan memajukan proses perdamaian di Semenanjung Korea menjelang peluncuran pemerintahan baru,” kata dewan itu menggunakan akronim dari nama resmi Korsel, Republik Korea Selatan, dalam sebuah pernyataan seperti dikutip dari Newsweek, Sabtu (16/1/2021).
Sementara itu Kementerian Luar Negeri Korsel mengatakan kepada Newsweek bahwa rincian terkait parade militer Korut saat ini sedang dianalisis oleh otoritas terkait. Sedangkan Kementerian Pertahanan Korsel mengatakan personelnya telah mengawasi dan menganalis situasi.
Militer Korsel juga meningkatkan upaya persenjataannya, dan media lokal telah melaporkan bahwa negara tersebut berencana untuk menguji rudal balistik yang diluncurkan kapal selamnya (SLBM) sendiri.
Sebelumnya, tindakan pengamatan yang dilakukan oleh Korsel ini memicu kemarahan dari adik penguasa Korut Kim Jong-un, Kim Yo-jong. Yo-jong menyebut pemerintah Korsel sebagai orang bodoh dan peringkat teratas di dunia dalam perilaku buruk atas penggunaan istilah “menangkap” dan “pelacakan presisi” oleh Kepala Staf Gabungan Korsel dalam pernyataan mereka terkait parade militer Korut.
“Kami hanya mengadakan parade militer di Ibu Kota, bukan latihan militer yang menargetkan siapa pun atau meluncurkan apa pun,” kata Kim Yo Jong seperti dikutip oleh Kantor Berita Pusat Korut, KCNA. pada Selasa lalu.
Pada parade militer yang dilakukan pada Kamis lalu, Korut memamerkan rudal kapal selam baru yang diberi nama Pukguksong-5. KCNA mengklaim bahwa rudal itu adalah sebagai senjata paling kuat di dunia.
Rudal itu sendiri dinilai oleh para ahli sebagai peningkatan dari rudal yang sama yang dipamerkan Korut pada acara serupa medio Oktober tahun lalu. Rudal yang diberi nama Pukguksong-4 di perkenalkan ke publik sekitar setahun setelah Korut melakukan uji coba SLBM.
Korut sejauh ini menunda pengujian rudal balistik antar benua (ICBM) sejak mengumumkan moratorium yang diberlakukan sendiri untuk senjata nuklir dan jarak jauh pada awal 2018. Namun Kim Jong-un mencabut janji ini setahun yang lalu, dengan alasan kegagalan dalam komitmen Amerika Serikat (AS) dan Korsel hingga negosiasi denuklirisasi untuk perdamaian yang menghasilkan pertemuan bersejarah tetapi tidak ada kesepakatan komprehensif.
Departemen Luar Negeri AS tidak menanggapi permintaan komentar dari Newsweek terkait parade tersebut. Tetapi menurut Kementerian Luar Negeri Korsel perwakilan khusus Washington untuk Korut, Stephen Biegun, telah berbicara dengan mitranya di Seoul, kepala negosiator nuklir Noh Kyu-duk melalui telepon pada hari Jumat kemarin.
“Kedua belah pihak berbagi penilaian mereka tentang situasi saat ini di Semenanjung Korea termasuk Kongres Korea Utara ke-8 Partai Pekerja Korea,” kata Kementerian Luar Negeri Korsel dalam sebuah pernyataan.
“Dan bertukar pandangan tentang cara-cara bagi Korea dan AS untuk bekerja sama untuk membuat kemajuan dalam mencapai denuklirisasi lengkap dan membangun perdamaian permanen di Semenanjung Korea,” sambung pernyataan itu.
Presiden AS terpilih Biden belum membahas secara rinci bagaimana rencananya untuk menangani Korut, tetapi telah berjanji untuk bekerja sama dengan sekutu seperti Korsel dan pesaing Washington seperti China.Di Korea Utara, Presiden Biden akan memberdayakan negosiator kami dan memulai kampanye yang terkoordinasi dan berkelanjutan dengan sekutu kami dan lainnya, termasuk China, untuk memajukan tujuan bersama kami yaitu denuklirisasi Korea Utara,” pernyataan resmi terkait kebijakan luar negeri resmi untuk pemerintahan Biden yang akan datang.