Konflik AS-China Menuju Klimaks Perang Dingin
Hubungan diplomat Amerika Serikat (AS) dan China kini mengalami titik terburuk selama 2020. Washington memberikan waktu 72 jam bagi Beijing untuk menutup konsulatnya di Houston di tengah tudingan spionase terhadap vaksin virus corona buatan AS.
Tahun 2020 memang menjadi titik kompetisi strategis antara China dan AS mengalami peningkatan serius menuju perang dingin gaya baru. Dua kekuatan ekonomi dan militer terbesar dunia itu terlibat berbagai konflik dalam panggung geografi dunia mulai dari Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia, Eropa, Afrika, dan Amerika Latin. Mereka juga terlibat dalam berbagai vektor konflik mulai dari perdagangan, investasi, teknologi, spionase, institusi internasional, kebijakan kesehatan, angkatan laut, misil, hingga ketegangan teritorial.
Bukan hanya konflik secara langsung, kedua negara pun mendorong negara pihak ketiga menjadi sistem aliansi yang bisa melihat dunia dalam dua blok dunia. Merah melawan biru. Atau kita melawan kita. Konfrontasi total. Itu menjadi bentuk definisi perang dingin.
Pandemi virus corona dan resesi ekonomi yang semakin menajam selama ini juga menjadi beberapa pemicu ketegangan kedua negara. Itu diperpanas dengan isu sentral pemilu presiden AS. Pemenang pemilu presiden pada November akan menentukan pendekatan lebih lanjut dalam konflik dengan China.
Sepertinya, konflik China-AS juga bukan perang personal antara Presiden Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Namun, itu dipicu meningkatkan kelompok elite yang bermusuhan di dua negara tersebut. Siapa mereka? Kelompok patriotik garis keras yang mengabaikan ruang intelektual, diplomatik, dan politik untuk terus menggalami pandangan saling berdekatan antara AS dan China.
Perang dingin antara AS-China akan menambah beban anggaran bagi kedua negara. Konflik itu juga bisa berdampak pada proxy war di negara lain yang membangun afiliasi bagi kedua negara besar itu. Ketegangan tersebut sebenarnya bisa ditangani dengan negosiasi dan diplomasi yang jitu. “Namun, pendekatan yang salah bisa memicu konfrontasi sehingga banyak pihak harus hati-hati dengan apa yang diinginkan oleh kedua negara tersebut,” ungkap John Kemp, analis politik AS-China, dilansir Reuters.
Tudingan spionase ekonomi yang dilakukan China memang menjadi motivasi utama bagi AS. Tapi, banyak ketegangan lain dengan Beijing dalam sejumlah front. “Tidak diragukan lagi kalau spionase menjadi ancaman bagi AS,” kata Abraham Denmark, Direktur Program Anak di Kissinger Institute dan The Wilson Center. Namun, dia mempertanyakan penutupan konsulat di Houston akan menyelesaikan masalah.
Kemenlu China menepis tuduhan AS dan mengancam akan menutup Konjen AS di Wuhan.