Jumlah Angka Kelahiran Menurun, Masa Depan Jepang Terancam
TOKYO – Jutaan parasite single masih bertahan tinggal dengan orang tuanya. Fenomena itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah kelahiran karena mereka enggan menikah dan populasi warga Jepang yang terus menua. Masa depan Negeri Matahari Terbit itu terancam.
Berdasarkan penelitian Statistical Research and Training Institute menyebutkan Jepang memiliki 4,5 juta pengangguran yang berstatus jomblo berusia 35-54 tahun. Mereka masih tinggal di rumah orang tuanya. Oleh para peneliti, mereka disebut sebagai parasite single. Sedangkan menurut data baru pemerintah, seperempat orang Jepang berusia 20 hingga 49 tahun masih jomblo.
Data menunjukkan, parasite single mencapai puncaknya di Jepang pada 2015. Saat itu, satu dari empat pria di Jepang belum menikah, serta satu dari tujuh perempuan belum menikah. Fenomena tersebut telah berkembang sejak dua dekade lalu. Jika fenomena parasite single tersebut terus bertahan, maka penduduk Jepang akan merosot dari 127 juta menjadi 88 juta pada 2065.
Menurut National Institute of Population and Social Security Research di Jepang, bahkan populasi Jepang bisa kembali merosot menjadi 51 juta pada 2115 jika tren tersebut terus berlanjut. Pada 2065, hampir 40% penduduk Jepang adalah manula. Economist menyebut situasi tersbeut sebagai “bom waktu demografi”.
Adalah sosiolog Masahiro Yamada yang menyebut istilah “parasite single” pada 1997 dalam penelitiannya. Dia mengungkapkan, pada masa perkembangan ekonomi pada pertengahan 1990-an, orang Jepang berpikir usia 20 tahunan merupakan waktunya bersenang-senang. Pada usia 30 tahunan adalah waktunya menikah. “Tapi, satu pertiganya justru belum menikah dan kini usia mereka sudah mencapai 50 tahun,” katanya kepada Reuters.
Menurut Yamada, 20% parasite single masih bergantung dengan dukungan orang tua. “Jika orang tua mereka meninggal, mereka akan menjadi beban keluarga,” ujarnya. Jika mereka memiliki warisan dari orang tuanya, mereka bisa selemat. Jika tidak, menurut Yamada, mereka bisa menjadi gelandangan.
Namun demikian, banyak parasite single mengungkapkan apa yang mereka lakukan bukanlah gaya hidup. Tetapi, mereka merupakan korban dari melemahnya perekonomian dan ketidakadilan sosial. Meningkatnya jumlah pengangguran, kerja lepas yang tidak jelas, dan pekerja kontrak menjadi permasalahan ekonomi di Jepang.
Parasite single bukan kesalahan mereka. Fenomena itu juga disebabkan langkah Jepang membangun perekonomiannya setelah Perang Dunia II dengan menawarkan kesejahteraan bagi pekerja keras dan berdedikasi. Akibatnya, sejak 1990-an, pekerja kontrak berkembang dari 15% menjadi 40%. “Ketidakstabilan pekerja menyebabkan orang tidak berpikir untuk menikah dan membangun kelurga,”kata Shuchiro Sekine, kepala serikat pekerja kontrak.
Kemudian, profesor sosiologi dari Universitas Chuo mengungkapkan, orang jomblo yang tinggal bersama orang tuanya berarti tidak ada tekanan untuk menikah. “Mereka berpikir hanya membuang waktu untuk membangun hubungan dengan seseorang yang tidak sesuai dengan kriterianya,” kata Yamada dilansir Channel News Asia.
Sedangkan Shigeki Matsuda, profesor sosiologi di Universitas Chukyo, menyalahkan kegagalan tingkat pernikahan karena fenomen hypergamy. “Hypergamy merupakan tren di mana perempuan Jepang berusaha mencari pria yang memiliki pekerjaan stabil dan tingkat pendidikannya lebih tinggi dari mereka,” paparnya.