Jika perang Meletus, China Unggul Alutsista, India Menang Pengalaman
Tensi konflik China-India memang dikabarkan mulai menurun. Itu terjadi setelah pemimpin kedua negara sepakat menarik pasukan dari wilayah konflik. Tapi itu tidak mengurangi kewaspadaan India. Selasa (23/6) kemarin, New Delhi mendesak mitranya, Rusia, untuk mempercepat pengiriman sistem pertahanan rudal yang telah dibelinya. Transaksi pembelian lima unit sistem pertahanan rudal canggih senilai US$12 miliar itu disepakati dua tahun silam.
Awalnya Rusia menunda pengiriman hingga Desember tahun 2021 dengan alasan harus berkonsentrasi menghadapi pandemi Covid-19. Kesepakatan baru itu tercapai setelah Menteri Pertahanan India Rajnath Singh dalam kunjungan tiga hari di Moskow bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Rusia Yuri Borisov.
“Diskusi saya dengan Wakil PM Yuri Borisov sangat produktif dan positif. Saya diyakinkan bahwa kontrak yang telah disepakati akan dipertahankan dan dalam sejumlah kasus akan diselesaikan dalam tempo lebih singkat,” tutur Singh sebagaimana dikutip Sputniknews Rabu (24/6) ini.
Bentrokan antara kedua negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia itu dikabarkan menewaskan 20 prajurit India. Sedangkan Tiongkok menolak menyebutkan berapa jumlah serdadunya yang meregang nyawa dalam peristiwa itu.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri India, Anurag Srivastava mengatakan bentrokan muncul karena ulah China. “Bentrokan muncul dari upaya China untuk mengubah status quo secara sepihak di perbatasan,” katanya.
Sementara dikutip dari South China Morning Post, China mengatakan India masuk ke kawasannya secara ilegal. “Mereka dengan sengaja memprovokasi serangan,” kata Juru Bicara pasukan China yang bertugas, Zhang Shuli.
Sebenarnya, perseteruan kedua negara di wilayah itu sudah terjadi sejak 1962. Setelah terakhir memakan korban 4 tentara India di tahun 1975, korban jiwa baru terjadi lagi sekarang.
India dan China merupakan dua negara tetangga yang sama-sama dihuni oleh lebih dari 1 miliar penduduk. Militer keduanya juga masuk ke dalam top 10 terkuat di dunia versi Global Fire Power.
Kekuatan militer China berada di peringkat ketiga setelah Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Posisi India tepat di belakang ketiga negara itu.
Meski secara jumlah personel militer, China kalah jumlah dari India, tetapi kelengkapan alutsista untuk angkatan udara (AU), darat (AD) hingga laut (AL) Tiongkok lebih unggul dari segi jumlah.
Anggaran pertahan China juga jauh lebih besar dari anggaran militer India. Nominalnya nyaris empat kali lipat dari anggaran militer India.
China juga menaikkan anggaran untuk pertahanannya hingga 6,6% untuk tahun ini menjadi RMB 1.268 miliar atau setara dengan US$ 178,6 miliar. Namun menurut perhitungan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) anggaran militer China mencapai US$261 miliar.
Menurut Global Firepower, Tiongkok memiliki 21.830.000 serdadu aktif dan 510.000 pasukan cadangan. Sedangkan India diperkuat oleh 14.440.000 tentara dan 210.000 prajurit pelapis.
Angkatan Darat
Kekuatan Angkatan Darat China meliputi 3.500 tank, 33.000 kendaraan artileri mobilitas tinggi (self-propelled artillery), artileri tarik (towed artillery) 3.600 unit, 2.650 peluncur roket.
Akan halnya India punya 4.292 tank, 8.686 kendaraan lapis baja (armoured vehicles), 4.060 artileri tarik, dan 266 peluncur roket.
Angkatan Udara
Total pesawat udara China mencapai 3.444 unit, yang terbagi atas 1.232 pesawat tempur, 371 pesawat pembom, 224 pesawat transpor, 314 pesawat latih, 111 pesawat untuk misi khusus, 911 helikopter dan 281 helikopter serbu.
Sedangkan India memiliki 2.141 pesawat. Terdiri dari 538 pesawat tempur, 172 pesawat pembom, 250 pesawat transport, 359 pesawat latih, 77 pesawat untuk misi khusus, 722 helikopter serta 23 helikopter serbu.
China juga unggul dalam jumlah pangkalan udara, yakni sebanyak 507 berbanding 346 yang dimiliki India.
Angkatan Laut
China saat ini memiliki dua kapal induk, 36 destroyer, 52 frigat, 50 korvet, 74 kapal selam, 220 kapal patrol, dan 29 kapal pemburu ranjau.
Di sisi lain, India diperkuat oleh sebuah kapal induk, 10 destroyer, 13 figat, 19 korvet, 16 kapal selam, 139 kapal patrol dan tiga kapal pemburu ranjau.
Senjata Nuklir
Menurut buku tahunan SIPRI 2020, China mempunyai 320 hulu ledak nuklir, sedangkan India memiliki 150 senjata pemusnah masal.
Nah, mengacu pada data tersebut, dari sisi persenjataan tentu saja China lebih unggul. Tapi itu tidak berarti jika perang benar-benar meletus, Tentara Pembebasan Rakyat –sebutan untuk tentara China-pasti mengungguli lawannya. Jangan salah, soal perang di era modern India jauh lebih berpengalaman.
Sejak berpisah dengan Pakistan tahun 1947, India sudah empat kali berperang dengan saudaranya. Pokok persoalan perang itu, tiga diantaranya dipicu oleh saling klaim wilayah Kashmir (1947, 1965, 1999). Satu perang lainnya menyangkut masalah wilayah Pakistan Timur (1971).
Kashmir adalah lembah luas yang terletak di ujung barat Pegunungan Himalaya. Secara politik, Kashmir terbagi menjadi tiga daerah: Jammu, Kashmir, dan Ladakh. Wilayah ini terkenal sangat subur dan indah karena dialiri oleh air lembah dari sungai-sungai, juga dikelilingi gunung. Yang menjadi persoalan, kawasan Kashmir yang memang tak bertuan itu berbatasan dengan tiga negara berbeda. Selain India dan Pakistan, ada pula China yang teritorinya juga bersinggungan dengan Lembah Kashmir.
India menguasai 43 persen wilayah Kashmir, Pakistan mengklaim 37 persen, sedangkan China 20 persen sisanya. Inilah yang membuat Kashmir disebut sebagai zona paling termiliterisasi di dunia. Polemik yang paling sengit terjadi antara India dengan Pakistan. Urusan semakin rumit karena India pernah menuduh Pakistan telah memberikan 8 ribu kilometer persegi wilayah Kashmir kepada China.
Sepanjang tahun 1999, lebih dari 250 ribu peluru, bom, dan roket, menghujani Pakistan. Hingga saat ini, konflik India vs Pakistan belum juga berakhir. Beberapa kali masih berlangsung insiden-insiden bersenjata meskipun dalam level yang tidak terlalu besar, juga aksi bom bunuh diri seperti yang terjadi pada 4 Februari 2019 lalu di Kashmir.
Polemik berkepanjangan antara dua negara diperkirakan telah merenggut 40 ribu nyawa, belum lagi 800 ribu orang lainnya yang harus mengungsi.
Adapun China di era modern baru satu kali terlibat perang. Lawannya adalah Vietnam, yang uniknya sama-sama negara berideologi komunis. Pemicunya adalah sengketa perbatasan. Perang Vietnam-China yang dikenal dengan Perang Indochina Ketiga meletus pada tahun 1979.
Perbedaan garis politik menjadi alas an kedua negara untuk angkat senjata. Pasca keretakan hubungan China-Uni Soviet pada 1960-an, Vietnam condong memihak Soviet. China tak terima. Sengketa perbatasan memperparah keadaan. Selanjutnya dengan dalih melindungi etnis Tionghoa, yang menjadi minoritas di Vietnam, China memutuskan –dalam bahasa Deng Xiao Ping– “memberi pelajaran” kepada tetangganya.
Beijing mengerahkan lebih dari 200 ribu prajuritnya beserta 200-an tank dan kendaraan tempur lain ke 26 titik di perbatasan kedua negara yang merentang sejauh 1.400 km. Dalam waktu singkat, Tentara Pembebasan Rakyat China merangsek masuk sejauh 20 km ke wilayah Vietnam.
Vietnam tak lantas ciut. Negeri itu hanya mengerahkan sedikit pasukan regulernya, yang tetap dikonsentrasikan untuk menjaga ibukota Hanoi. Vietnam mengandalkan sekira 150 ribu personel yang terdiri dari pasukan reguler penjaga perbatasan ditambah milisi setempat.
Dalam pertempuran dua hari diperkirakan 4.000 tentara China tewas. Strategi dan taktik Vietnam, yang menghindari perang frontal, jauh lebih jitu. Keterlibatan banyak gerilyawan veteran perang melawan invasi AS membuat pasukan Vietnam memenangi beberapa pertempuran. Mereka juga mendapat dukungan persenjataan modern dan logistik dari Uni Soviet. Vietnam pun sukses mempermalukan China.
Dalam perang itu, lebih dari 25 ribu jiwa China tewas dan ribuan lain luka-luka, sementara Vietnam kehilangan sekira 10 ribu rakyatnya dan ribuan lain luka-luka di samping rakyat sipil yang jadi korban.
Perang China versus Vietnam membuktikan keunggulan senjata bukan jaminan untuk keluar sebagai pemenang.