Iran Mulai Riset Bahan Bakar Nuklir Berbasis Logam Uranium, Eropa Ketar Ketir
BRUSSELS – Kekuatan Eropa menyuarakan keprihatinan yang mendalam atas rencana Iran untuk memproduksi logam uranium. Mereka memperingatkan bahwa Teheran tidak memiliki penggunaan sipil yang kredibel untuk elemen tersebut.
“Produksi logam uranium memiliki potensi implikasi militer yang serius,” kata Menteri Luar Negeri Inggris , Prancis dan Jerman dalam pernyataan bersamanya seperti dikutip dari The Guardian, Minggu (17/1/2021).
Iran telah menandatangani larangan hingga 15 tahun untuk memproduksi atau memperoleh logam plutonium atau uranium atau paduannya di bawah perjanjian nuklir 2015 atau apa yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
“Kami sangat mendesak Iran untuk menghentikan kegiatan ini, dan kembali mematuhi komitmen JCPOA tanpa penundaan lebih lanjut jika serius untuk mempertahankan kesepakatan,” imbau para menteri Eropa itu.
Seruan mereka datang setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan Iran telah memberi tahu pengawas nuklir bahwa mereka sedang mempercepat penelitian tentang produksi logam uranium, yang bertujuan untuk menyediakan bahan bakar canggih untuk reaktor penelitian di Teheran.
Menanggapi pernyataan para menteri luar negeri Eropa, organisasi energi atom Iran mendesak IAEA untuk menghindari membuat kesalahpahaman. Lembaga itu menambahkan bahwa mereka belum menyajikan kuesioner informasi desain pabrik logam uranium kepada pengawas PBB tersebut.
Dikatakan pihaknya berharap IAEA tidak akan menyebabkan kesalahpahaman lebih lanjut di masa depan, dengan menahan diri dari menyebutkan rincian yang tidak perlu dalam laporannya.
Kesepakatan nuklir penting yang ditandatangani tahun 2015 yang disepakati antara Iran dan Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, Prancis, dan Jerman untuk membatasi program nuklir Teheran sebagian besar telah hancur sejak Donald Trump menarik AS pada 2018 dan menerapkan kembali sanksi keras.
Pemerintah Iran telah mengisyaratkan kesiapan untuk terlibat dengan presiden terpilih AS, Joe Biden, yang menjabat pada 20 Januari. Biden sendiri telah menyatakan kesediaan untuk kembali ke jalur diplomasi dengan Teheran.