Dari Kacang hingga Mi Instan, Mencari Bahan Alternatif Kedelai untuk Tempe
Kenaikan harga kedelai yang berimbas pada naiknya harga tempe dan tahu sempat membuat banyak orang gusar. Bukan cuma ibu rumah tangga yang khawatir dengan naiknya harga-harga, tapi juga pedagang tempe, tahu, bahkan gorengan. Namun meski harganya naik, tempe dan tahu tetap jadi incaran ibu rumah tangga sebagai lauk sehari-hari.
Dosen Program Studi Teknologi Pangan Universitas Bakrie, Jakarta, Dr. Ardiansyah, mengungkapkan bahwa tempe menjadi salah satu makanan pilihan orang Indonesia bukan hanya karena harganya yang relatif terjangkau dan rasanya yang enak, tapi juga karena gizinya. Alasan lainnya, tempe sangat mudah diolah jadi camilan, lauk, sampai sayur.
Dr. Ardiansyah mengungkapkan bahwa sekalipun harganya naik, tempe masih tetap bakal dicari dan dibeli. Salah satu faktor kemungkinan orang tak keberatan beli tempe saat harganya naik karena dipengaruhi oleh tingkat faktor kelekatan dan budaya kuliner Indonesia. Ardiansyah menambahkan, tempe sudah jadi bagian dari keseharian mayoritas orang Indonesia.
“Asal-usulnya, tempe adalah produk asli Indonesia secara turun-temurun. Secara ilmiah, tempe adalah massa kompak (obyek padat) hasil fermentasi yang bisa diiris dan bahan bakunya yang utama adalah kedelai,” ujar Dr. Ardiansyah.
Sementara budayawan Fadly Rahman dalam buku Jejak Rasa Nusantara mengungkapkan bahwa tempe sudah dikenal bangsa Indonesia sejak abad 16. Dalam Serat Centhini atau Suluk Tambanglaras yakni buku kesusastraan Jawa Baru yang berisi ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa yang dibuat di masa kepemimpinan Sunan Mangkunegara VII, nama tempe muncul dalam nama makanan besengek tempe pitik dan kadhele tempe.
Bahan baku alternatif
Meski tempe adalah makanan asli Indonesia, bahan baku utama pembuatannya yaitu kedelai didapatkan dari mengimpor. Di tahun 2021 lalu, menurut data BPS, Indonesia mengimpor kedelai sekitar 1,482 juta ton. Mengutip data Kementerian Perdagangan, nilai impor kedelai pada bulan Februari 2021 mencapai US$113,24 juta, atau meningkat 37,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai sekitar 6,45 kg. Tingginya nilai impor kedelai per tahun sangat memengaruhi naik turunnya harga jual kedelai dan hasil olahannya, terutama saat harga kedelai dunia mulai bergejolak.
Pencarian bahan baku alternatif pengganti kedelai menjadi salah satu upaya untuk menyiasati ketergantungan pada kedelai impor dan menjaga harga olahan kedelai seperti tempe. Ardiansyah mengungkapkan, kalangan akademisi sudah sering melakukan berbagai penelitian untuk mencari bahan baku alternatif.
Ardiansyah yang juga aktif dalam organisasi Forum Tempe Indonesia dan juga Soybean Indonesia ini mengungkapkan bahwa sebenarnya hampir semua jenis kacang-kacangan selain kedelai bisa dibuat menjadi tempe. Sebut saja kacang hijau, kacang merah, kacang koro pedang, kacang bogor, ampas tahu, kedelai hitam dan jenis kacang lainnya.
Kacang koro pedang sendiri digadang-gadang Kementerian Pertanian sebagai alternatif kedelai untuk tempe. Mengutip Litbang Kementan, Dr. Endang Yuli Purwani, Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), mengatakan tempe koro pedang memiliki rasa gurih yang membuat tempe makin lezat.
Tempe dari mi instan?
Namun ternyata tidak hanya jenis kacang-kacangan, bahan lain sepert mi instan sampai pasta juga bisa dijadikan bahan baku alternatif pembuat tempe. Memang terdengar tak lazim, namun ibu rumah tangga bernama Hesti Hidayat yang pernah beberapa kali mengikuti kelas membuat tempe, berhasil membuat tempe berbahan dasar mi instan.
“Banyak sih, semua bahan pada dasarnya bisa dibuat tempe. Tempe sebenarnya ‘kan bukan nama bahan makanan tapi sebuah proses. Jadi semua bahan yang melalui proses penempean (fermentasi dengan jamur Rhizopus sp.) disebut tempe. Bahan yang saya tahu karena banyak teman yang bereksperimen adalah pasta, edamame, kacang kedelai hitam,” kata Hesti kepada DW Indonesia.
Hesti mengatakan proses pembuatan tempe mi instan mirip dengan pembuatan tempe kedelai. Mi instan harus direbus sampai matang, kemudian ditiriskan dan didiamkan sampai benar-benar dingin. Ragi tempe (Rhizophus sp) ditambahkan ke mi instan dan diratakan.
“Masukkan ke dalam bungkus mie instan, tutup rapat lalu lubangi bungkus dengan tusuk gigi. Setelah itu diamkan di suhu ruang dengan dialasi besek atau cooling rack supaya sirkulasi udaranya lancar dan jadi ragi bisa berkembang secara merata. Yang pasti jangan gunakan bumbu mi instannya karena jika ada garam, ragi tidak bisa tumbuh.”
Menanggapi beragamnya bahan baku alternatif pembuat tempe, seperti mi instan yang pernah dilakukan Hesti, Ardiansyah mengatakan sebenarnya tak ada pakem bahan baku khusus untuk membuat tempe. Hampir semua bahan baku bisa dibuat jadi tempe asalkan memenuhi kebutuhan penunjang hidup dari jamur tempe (Rhizophus sp).
“Karena untuk tumbuh, jamur perlu substrat yang tercukupi unsur karbon, nitrogen, unsur hidrogen. Selama bahan bakunya bisa mencukupi kebutuhan pertumbuhan jamur maka tidak masalah.”
“Intinya suhu saat fermentasinya yang penting. Ragi di dalamnya ada kapang, suhunya dipertahankan di suhu ruang 30-35 derajat Celsius, kondisi aerob (proses respirasi yang membutuhkan oksigen), minimum 12 derajat Celsius dan maksimal 42 derajat Celsius. Selama itu terpenuhi dan kebutuhan mikroba terpenuhi, jadi tempe.”
Tak cuma urusan pilih jenis bahan baku, dia juga mengingatkan bahwa karakteristik bahan baku juga harus diperhatikan demi mendapatkan hasil tempe yang sempurna. Beda karakteristik bahan akan memengaruhi metode pembuatan tempe, misalnya proses lamanya merebus, meniriskan, dan lainnya.
Selain substitusi, kombinasi bahan juga bisa dilakukan. Dia mencontohkan, jika selama ini tempe dibuat dari 100% kedelai, maka kedelai bisa dipakai setengahnya dan digabung dengan jenis kacang lainnya.
“Misal mau produksi pakai 30% kedelai dan digabung dengan 70% kacang bogor, ini bisa saja jadi tempe. Dalam hitungan di atas kertas itu bisa, tapi kenyataan semua tergantung pada suplai bahan baku. Ini tantangannya selama ini.”
Beda bahan baku, beda nilai gizi
Ahli gizi sekaligus pengurus bidang humas Asosiasi Dietisien Indonesia (ASDI), Ika Setyani, mengatakan bahwa tempe kedelai adalah salah satu sumber protein nabati mudah cerna serta sumber probiotik. Nilai protein kacang kedelai, katanya, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lainnya. Karena itu dia tak menampik bahwa penggunaan bahan baku alternatif untuk pembuatan tempe juga akan berpengaruh pada nilai gizi.
“Nilai gizi tempe akan menyesuaikan dengan bahan baku dasarnya. Jika dibandingkan nilai gizi kedelai dengan jenis kacang kacangan lain, kadar protein yang terkandung di dalam kacang kedelai memang lebih tinggi. Dalam 100 gram kedelai mengandung 40,4 gram protein. Ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan kacang-kacang lain,” ujar Ika Setyani kepada DW Indonesia.
Mengutip buku Tabel Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Persatuan Ahli Gizi Indonesia (2009), dalam 100 gram berat yang dapat dimakan (BDD) tempe kedelai mengandung protein sekitar 20,8 gram. Sedangkan tempe kacang belimbing (kecipir) mengandung 17,5 gram protein, tempe lamtoro mengandung 11,7 gram protein, tempe koro benguk mengandung 10,7 gram protein.
Hanya saja, fungsi tempe sebagai protein nabati ini akan berubah jika tempe dibuat dari mi instan atau pasta. Sekalipun keduanya bisa dipakai sebagai alternatif pembuatan tempe, fungsinya bakal berbeda buat tubuh.
“Kalau tempe kacang-kacangan berfungsi sebagai sumber protein maka tempe mi instan atau pasta berfungsi sebagai sumber karbohidrat, bukan lagi sumber protein. Semua tergantung bahan baku pembuatnya,” kata Ika.