Bantai Demonstran dengan Peluru, AS: Militer Myanmar Tak Bermoral
WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengecam kekerasan militer Myanmar terhadap pengunjuk rasa yang oleh Washington disebut “tidak bermoral dan tidak dapat dipertahankan”. Kecaman ini disampaikan setelah pasukan keamanan junta membantai puluhan para pengunjuk rasa dengan peluru pada Minggu, hari paling berdarah sejak kudeta 1 Februari.
Para pendukung pemimpin terpilih yang ditahan Aung San Suu Kyi turun ke jalan lagi kemarin meskipun puluhan pengunjuk rasa tewas pada hari Minggu.
“Junta menanggapi seruan untuk pemulihan demokrasi di Burma [Myanmar] dengan peluru,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Jalina Porter.
“Taktik ini adalah pengingat bahwa militer Burma melakukan kudeta ini untuk keuntungan egois mereka sendiri dan bukan untuk mewakili keinginan rakyat,” ujarnya, seperti dikutip Reuters,Selasa (16/3/2021).
Pada Minggu malam, 38 pengunjuk rasa tewas di Hlaingthaya dan lokasi lain di Yangon akibat kekerasan oleh pasukan keamanan junta setelah para demonstran antikudeta menyerang pabrik-pabrik China di negara itu. Seorang polisi Myanmar juga tewas dalam insiden itu.
Aset-aset China di Myanmar jadi sasaran amukan para demonstran setelah Beijing dianggap terlalu meremehkan kudeta militer di negara Asia Tenggara itu.
Kedutaan Besar China di Myanmar mengatakan banyak staf mereka terluka dan terperangkap dalam serangan pembakaran oleh penyerang tak dikenal di pabrik garmen di Hlaingthaya. Beijing telah meminta Myanmar untuk melindungi properti dan warga China.Media lokal melaporkan ketika asap membubung dari kawasan industri, pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa di pinggiran kota yang merupakan rumah bagi para migran dari seluruh negeri.
“Mengerikan. Orang-orang ditembak di depan mata saya. Itu tidak akan pernah meninggalkan ingatan saya,” kata seorang jurnalis foto di tempat kejadian yang tidak ingin disebutkan namanya, seperti dikutip Reuters, Senin (15/3/2021).
Darurat militer diberlakukan di Hlaingthaya dan distrik lain di Yangon, pusat komersial Myanmar dan bekas ibu kota.
Televisi Myawadday yang dikelola tentara mengatakan pasukan keamanan bertindak setelah empat pabrik garmen dan pabrik pupuk dibakar dan sekitar 2.000 orang telah menghentikan mesin pemadam kebakaran untuk menjangkau mereka.