AS Sebut Kuba Negara Komunis Gagal, Havana Beri Balasan Menohok
HAVANA – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah menyebut Kuba sebagai negara gagal di tangan rezim komunis. Havana membalas dengan jawaban menohok dengan menyebut Washington-lah yang gagal menghancurkan Kuba selama bertahun-tahun.
Biden sebelumnya mengatakan negara Amerika Latin yang dikelola Komunis tersebut sebagai “negara gagal”, negara yang menekan warganya sendiri. Komentar Biden muncul sebagai respons atas demo besar anti-pemerintah Kuba pada pekan lalu.
Menurutnya Biden, tindakan Havana telah menghancurkan harapan dia bisa mencabut sanksi yang melumpuhkan dalam waktu dekat yang telah berkontribusi pada krisis ekonomi terburuk Kuba dalam beberapa dekade.
Biden, seorang politikus Demokrat, telah bersumpah selama kampanye kepresidenannya untuk meringankan beberapa sanksi terhadap Kuba yang diperketat oleh pendahulunya Donald Trump, seorang Republikan. Tetapi para analis mengatakan protes besar di Havana telah memperumit kelonggaran politik Biden untuk melakukannya.
Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel mengatakan pada Jumat bahwa Amerika Serikat, bukan Kuba, yang menjadi negara gagal.
“Negara gagal adalah yang, untuk menyenangkan minoritas reaksioner dan pemerasan, mampu melakukan kerusakan pada 11 juta manusia,” tulis Diaz-Canel di Twitter seperti dikutip Reuters, Sabtu (17/7/2021).
Pejabat Kuba dan banyak analis menuduh bahwa kebijakan AS terhadap Havana didorong oleh komunitas Kuba-Amerika yang antikomunis yang memiliki pengaruh kuat di negara bagian Florida, bukan kepentingan rakyat Kuba.
Pemerintah Kuba menuduh Amerika Serikat berada di balik protes yang pecah secara nasional pada hari Minggu lalu. Protes besar itu merupakan kejadian langka di negara yang membatasi perbedaan pendapat publik dengan membiayai kontrarevolusioner untuk menimbulkan kerusuhan.
“Amerika Serikat telah gagal dalam upayanya untuk menghancurkan Kuba meskipun menghabiskan miliaran dollar dalam upayanya untuk melakukannya,” kata Diaz-Canel, yang juga mengecam Washington atas angka kematian COVID-19 yang tinggi, kekerasan polisi, rasisme dan catatan perang yang memalukan.