AS Larang Masuk Panglima Militer Sri Lanka, Dicap Penjahat Perang
WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat (AS) melarang masuk panglima militer Sri Lanka atas tuduhan terlibat kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama perang saudara di negara itu akhir 2009.
Larangan itu diumumkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Pompeo. Menurutnya, Letnan Jenderal Shavendra Silva, yang penunjukannya sebagai panglima militer Sri Lanka tahun lalu mengundang kecaman internasional, tidak memenuhi syarat untuk mengunjungi Amerika. Larangan juga berlaku bagi keluarga dekatnya.
“Tuduhan pelanggaran HAM berat terhadap Shavendra Silva, yang didokumentasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi lainnya, adalah serius dan kredibel,” kata Pompeo dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip Reuters, Sabtu (15/2/2020).
“Kami mendesak pemerintah Sri Lanka untuk mempromosikan hak asasi manusia, meminta pertanggungjawaban individu yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia, memajukan reformasi sektor keamanan, dan menjunjung tinggi komitmen lainnya untuk mengejar keadilan dan rekonsiliasi,” ujar bekas direktur CIA tersebut.
Silva adalah komandan divisi militer utama dalam bulan-bulan terakhir operasi militer terhadap pemberontak Macan Tamil pada 2009.
Kelompok-kelompok HAM mengatakan sekitar 40.000 warga etnik Tamil tewas dalam kekejaman massal ketika pasukan pemerintah menangkapi warga Sri Lanka yang sebagian besar adalah warga Tamil utara. Sebuah laporan PBB mengatakan Silva memainkan peran utama dalam mengatur kejahatan perang.
Pemerintah Sri Lanka mengatakan perlu “keberatan kuat” terhadap larangan perjalanan terhadap Silva dan meminta Amerika Serikat untuk mempertimbangkan kembali keputusannya.
Pernyataan itu menegaskan kembali posisi Sri Lanka bahwa tidak ada dugaan pelanggaran HAM yang terbukti atau kredibel.
“Sangat mengecewakan bahwa pemerintah asing harus mempertanyakan hak prerogatif presiden yang terpilih secara demokratis untuk memanggil orang-orang dengan keahlian yang terbukti untuk memegang posisi kunci pada masalah-masalah yang berkaitan dengan keamanan nasional,” kata pemerintah dalam sebuah pernyataan.
Serangan militer tahun 2009 memberikan pukulan mematikan bagi kelompok pemberontak Macan Tamil, yang sudah berkampanye hampir empat dasawarsa untuk memiliki tanah air yang terpisah. Selama masa itu, sekitar 100.000 orang tewas dan marak serangan bunuh diri dari kelompok pemberontak.
Kate Cronin-Furman, seorang ahli dalam kasus kekejaman massal dan hak asasi manusia di University College London (UCL), mengatakan larangan pemberian visa akan menjadi “disinsentif yang cukup kecil” jika berusaha untuk menghentikan kekejaman yang sedang berlangsung.
“Tetapi jika sebaliknya kita berpikir tentang ini sebagai upaya untuk membuat negara-negara seperti Sri Lanka berhenti menunjuk penjahat perang ke posisi kepemimpinan, maka prospeknya terlihat jauh lebih cerah,” katanya, yang dilansir AFP.
Kelompok diaspora Tamil di Amerika Serikat telah aktif dalam mendesak pemerintahan Presiden Donald Trump bertindak menangani masalah hak asasi manusia.
AS melakukan tindakan itu justru ketika Washington berupaya merayu Sri Lanka agar menjauh dari China. Beijing telah mencurahkan uang pada Sri Lanka dan pada 2017 mengambil kendali pelabuhan setelah pemerintah Kolombo tidak dapat membayar pinjaman.
Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa sanksi visa terhadap Silva tidak menempatkan pembatasan tambahan pada bantuan keamanan atau keterlibatan militer di Sri Lanka.
Pada 2017, Amerika Serikat menyediakan USD 39 juta untuk Sri Lanka guna meningkatkan keamanan maritim. Amerika Serikat juga telah berupaya meningkatkan kerja sama anti-terorisme dengan Sri Lanka setelah serangan bom Minggu Paskah tahun lalu yang dilakukan oleh para ekstremis.
“Kami sangat menghargai kemitraan kami dengan pemerintah Sri Lanka dan tradisi demokrasi lama yang kami bagi dengan rakyat Sri Lanka,” kata Pompeo.