70 Tahun Baret Merah: Pasukan Komando Selalu Aktual
Peringatan hari jadi Kopassus ke-70 tahun ini, setidaknya ditandai dua peristiwa penting. Pertama, Kopassus baru saja memperoleh Komandan baru, yaitu Brigjen TNI Iwan Setiawan (Akmil 1992), yang saat masih perwira pertama namanya sempat dikenal publik, ketika sukses memimpin ekspedisi tim Kopassus ke “atap dunia” Mount Everest, medio 1996. Kedua, situasi nasional yang sedang transisi menuju pemulihan pascapandemi.
Sebagai satuan yang terpandang sejak kelahirannya (16 April 1952), dan merupakan korps kebanggaan negeri, Korps Baret Merah– sebutan populer Kopassus – selalu merasa terpanggil untuk andil dalam upaya mengatasi segala masalah kebangsaan, seperti terlibat dalam mempercepat program vaksinasi, yang mungkin tidak ada hubungan langsung dengan tugas pokok Kopassus, namun tetap penting dilaksanakan dalam konteks kemanusiaan.
Salah satu yang khas dari pasukan-pasukan terbaik di Tanah Air, adalah soal sikap rendah hatinya. Tidak ada yang merasa pasukannya sebagai pasukan hebat. Tagline yang biasa kita dengar adalah: kami bukan satuan hebat, namun terlatih. Pada awal dekade 1990-an, Dankormar (Komandan Korps Marinir) saat itu Mayjen (Mar) Baroto Sardadi, sempat mengatakan, Marinir bukan pasukan khusus, yang pasukan khusus hanyalah Kopassus (Kompas, 11/11/1992). Tentu ini adalah bentuk dari kerendahhatian seorang Komandan Marinir, mengingat tugas pasukan marinir tak kalah beratnya, dan dari segi nama, juga melegenda.
ta
Dinamika politik perkotaan
Kesiapan Kopassus dalam menghadapi berbagai masalah kebangsaan, secara singkat bisa dilihat pada penggalan pidato perpisahan Letjen TNI Prabowo selaku Danjen Kopassus (Maret 1998): “Kita tidak akan pernah menyerah, kita tidak akan pernah tunduk kepada tekanan dan permainan dari pihak manapun. Dalam kedaan yang sulit, hanya yang kuat dan berani yang akan tampil.”
Pesan perpisahan Prabowo kepada satuan yang sangat dicintainya, seolah menemukan relevansinya kembali hari-hari ini, ketika komunitas politik di Jakarta sedang ramai membahas wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa kekuasaan presiden. Pidato tersebut seolah metafora, bila dihubungkan dengan kenyataan, ketika yang menjadi motor pengembangan wacana tersebut adalah juga sesepuh Baret Merah, yakni Luhut Binsar Panjaitan (Menkomarves, lulusan terbaik Akmil 1970, LBP). LBP sejak lama diketahui memiliki hubungan kurang harmonis dengan Prabowo, bahkan sejak masih sama-sama berdinas di Cijantung (Markas Komando Kopassus) dulu.
Hubungan Prabowo dan LBP memang sedikit kompleks, karena juga melibatkan mantan perwira Baret Merah lainnya, utamanya di Partai Golkar. Sebagai salah satu pilar di Partai Golkar, LBP kemudian merekrut Lodewijk Paulus (Akmil 1981, kini Sekjen Golkar dan Wakil Ketua DPR RI), Andogo Wiradi (Akmil 1981, fungsionaris Golkar) dan Eko Wiratmoko (Akmil 1982, fungsionaris Golkar). Sementara saat masih berdinas aktif di Kopassus dulu, nama-nama tersebut dikenal juga sebagai “kader” Prabowo, dengan kata lain ketiga nama tersebut semacam irisan antara Prabowo dan LBP.
Membaca dinamika politik di Jakarta hari-hari ini, yang melibatkan nama-nama senior Baret Merah, tidak bisa tidak Kopassus akan terbawa-bawa juga. Tampaknya Kopassus, utamanya Grup 3 sebagai satuan intelijen, akan lebih fokus dalam mengamati apa yang akan berkembang di Jakarta di hari-hari mendatang. Mengingat kota (utamanya Jakarta) memiliki jejak yang panjang dalam pasang-surut sebuah rezim. Seperti tatanan Orde Baru di masa lalu dan munculnya gerakan reformasi Mei 1998, adalah contoh terbaik fenomena politik perkotaan, karena awalnya dibangun secara intensif poros Jakarta – Bandung –Yogyakarta.
Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa kekuasaan presiden telah berkembang sedemikian rupa, yang diprediksi akan menimbulkan kegelisahan masyarakat. Apabila tidak ditemukan kanal sosial yang tepat, dikhawatirkan eskalasinya akan naik secara perlahan. Pada fase ini peran satuan intelijen Kopassus bisa mengambil peran, untuk mereduksi kemungkinan munculnya situasi chaotic.
Satuan intelijen Kopassus memiliki kompetensi untuk itu, dengan bersinergi dengan satuan inleijen lainnya. Perannya memang berbeda dibanding saat Orde Baru dulu, ketika aparat intelijen membungkam aktivis dan aspirasi demokratis. sementara di era reformasi, aparat intelijen adalah justru bagian dari demokratisasi itu sendiri, dengan cara menjaga agar ruang demokrasi tetap kondusif. Potensi gerakan anarki bisa dideteksi lebih dini, untuk kemudian dilemahkan secara persuasif.
Satuan-satuan Kopassus secara umum dikenal karena keunggulannya dalam operasi lawan-gerilya di wilayah konflik seperti di Papua atau Poso (Sulteng), yang karakter medannya berbeda jauh dengan kawasan perkotaan. Sejak beberapa tahun yang lalu, TNI AD telah banyak membentuk satuan infanteri berkualifikasi raider (Baret Hijau), yang kiranya perlu diberi kesempatan lebih banyak untuk operasi lawan-gerilya di hutan belantara dan pegunungan. Sementara Kopassus, khususnya satuan intelijen, bisa lebih fokus memantau dinamika politik perkotaan.
Dinamika politik perkotaan lebih kompleks ketimbang gerakan separatisme. Dalam gerakan separatisme yang terjadi adalah hitam-putih, siapa lawan dan siapa kawan jelas terlihat, sementara politik perkotaan lebih bersifat “grey area”.
Siapa yang dapat memastikan, bahwa kelak tidak akan terjadi sesuatu di luar imajinasi kita, untuk itulah Satgultor-81 perlu disiagakan pula. Situasi sekarang mirip dengan digambarkan Mayjen Tarub (Akmil 1965) dulu, mantan Komandan Kopassus pertengahan dekade 1990-an, yang pernah berujar: “Sekarang adalah kondisi ketidakpastian, yang membuat kita harus lebih siap lagi.”
Spirit generasi milenial
Ketika Letkol Slamet Riyadi menggagas pembentukan satuan Kopassus pada tahun 1950, usianya belum genap 25 tahun, kira-kira seusia Adipati Mangkunegara X Solo, yang baru saja dilantik pertengahan Maret lalu. Atau juga dengan Kaesang Pangarep, putera bungsu Presiden Joko Widodo, yang sudah dikenal sukses sebagai pengusaha rintisan (startup). Usia 20-an memang usia yang sangat dinamis dalam fase perkembangan manusia, bisa jadi puncak kreativitas manusia ada pada usia ini.
Mengingat kembali sosok Slamet Riyadi yang masih terhitung belia ketika melahirkan gagasan pembentukan Baret Merah, kita seperti melihat sebuah paralelisme sejarah, ketika era sekarang sudah bermunculan figur generasi milenial di berbagai sektor. Kita juga akan menyaksikan, bagaimana satuan sebesar Kopassus yang didirikan pertengahan abad lalu, akan beradaptasi dengan zaman yang dipandu oleh generasi milenial, generasi yang dikenal akrab dengan teknologi digital.
Sekali lagi kita harus menyebut peran Prabowo, yang saat masih berdinas di Kopassus dan Kostrad dulu, selalu memantau potensi perwira muda, beberapa di antaranya sebagaimana sudah disebut di atas. Perwira lain yang bisa disebut adalah Letjen Purn Doni Monardo (Akmil 1985, Komandan Kopassus 2014 – 2016), yang sempat dipercaya sebagai salah satu komandan bataliyon, saat Prabowo masih menjabat Danjen Kopassus. Doni bisa disebut sebagai salah satu role model, sebagai perwira Komando yang memiliki kinerja bagus di luar tugas kemiliteran, dengan menjadi penggerak operasi humaniter (saat memimpin BNPB), dan setelah pensiun kini aktif sebagai “influencer” pada isu lingkungan.
Ketika situasi damai, kemampuan anggota Kopassus bisa tetap dianfaatkan pada tugas-tugas humaniter, seperti terlibat dalam upaya penanggulangan Covid-19 baru-baru ini. Atau ketika anggota Grup 2 Kopassus yang bermarkas di Kartasura (Solo), menjadi unsur terdepan saat bencana Gunung Merapi Oktober 2010 lalu, dan menjadi pihak paling akhir yang meninggalkan lokasi, sampai bisa dipastikan seluruh warga dalam kondisi aman.
Kompetensi Kopassus dalam operasi humaniter berkelindan dengan aspirasi damai generasi milenial, sebuah generasi yang sama sekali tidak tertarik dengan konflik antarnegara atau peperangan. Spirit generasi milenial adalah pengembangan potensi diri dan kesejahteraan. Dan satu lagi adalah kecakapan mereka atas informasi digital dan media sosial.
Salah satu ciri teknologi digital adalah bagaimana informasi bisa bergerak seperti air bah, cepat dan volumenya besar, sehingga transparansi informasi menjadi sesuatu yang prinsipil. Pada fase ini ada pertemuan antara Kopassus dan generasi milenial, bahwa kebesaran nama Kopassus ibarat buku terbuka, yang informasinya bisa diakses secara mudah, kecuali informasi terkait operasi intelijen.
Pesan pentingnya adalah, jangan coba-coba memberi kabar bohong (hoax) pada generasi milenial, khususnya generasi Z, karena cepat atau lambat akan terbongkar juga. Seperti berita yang heboh baru-baru ini, terkait perhelatan Paris Fashion Week, ada upaya manipulasi terkait keterlibatan jenama Indonesia di ajang tersebut, yang akhirnya terbongkar juga. Atau ketika ada bisnis investasi digital, dari mereka yang mendapuk diri sebagai crazy rich, ternyata sekadar bisnis “abal-abal” yang berujung sebagai kasus pidana.
Sejak lama TNI sudah menyediakan ruang bagi pengembangan generasi muda, salah satunya tercatat dalam naskah Dharma Pusaka 45, hasil Seminar TNI AD di Seskoad Bandung, pertengahan Maret 1972, jadi tepat setengah abad yang lalu. Dalam satu bagian muncul frasa “kelompok generasi muda non-afiliasi atau independen”, mengingat pada saat itu belum lagi dikenal istilah generasi milenial. Dalam naskah seminar itu disebutkan, generasi muda pada saatnya akan siap “memasuki masyarakat yang dinamis dan rasionil”. Sebuah kenyataan yang kita lihat hari ini.
Pada titik ini kita melihat ada kesesuaian antara Kopassus dan generasi milenial, dalam hal idealisme dan spirit. Bagaimana kedua komunitas ini bisa saling memberi inspirasi bagi masa depan kehidupan bangsa yang lebih baik, utamanya menjelang Indonesia Emas 2045. Kita bisa berkaca pada situasi mutakhir di tingkat global, adanya konflik antarnegara berlarut, krisis ekonomi dan energi, hingga isu perubahan iklim, yang kelak akan menjadi agenda kerja Generasi Z, untuk dicarikan solusinya bersama.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.