Beda Wisata Alam dengan Ekowisata yang Sering Salah Kaprah, Simak 4 Fakta Ini
Jakarta – Istilah ecotourism atau ekowisata sedang naik daun. Wisatawan mencari dan merasakan ketenangan di alam terbuka. Bisa dengan cara berkemah, naik gunung, menyusuri sungai, atau sekadar merebahkan diri di atas rerumputan hijau beratap dedaunan dan langit biru.
Project Coordinator Hutan Itu Indonesia atau HII, Diyah Deviyanti menceritakan pengalamannya ketika travelling ke destinasi ekowisata Tangkahan yang masuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di Privinsi Aceh dan Sumatera Utara. Dia menyusuri menyusuri jalan setapak, sesekali terkena ranting pohon yang menjuntai, menikmati air terjun alami, dan benar-benar merasakan kedamaian di tengah hutan yang keasliannya masih sangat dijaga,
“Inilah gambaran destinasi ekowisata yang sesungguhnya,” kata Diyah Deviyanti. “Tidak ada fungsi hutan yang berubah. Hutan sebagai sumber oksigen dan sumber kehidupan masyarakat sekitar.”
Dalam ekowisata sesungguhnya, tiada pembangunan fasilitas yang mengubah atau merusak ekosistem. “Tak perlu takut. Tempat seperti ini sangat aman karena ditemani pemandu,” kata Diyah. Sebelum memulai perjalanan, pemandu sudah menyampaikan apa yang boleh, dilarang, serta kearifan lokal masyarakat setempat kepada wisatawan.
Supaya wisatawan memahami betul apa itu ekowisata, simak empat fakta berikut:
- Wisata alam belum tentu ekowisata
Tak sedikit yang beranggapan travelling ke taman, kebun raya, air terjun, hutan, taman nasional, naik gunung, termasuk ekowisata. Intinya jalan-jalan di alam terbuka. Faktanya, tidak semua wisata alam termasuk ekowisata.
Diyah menjelaskan, betul bahwa ekowisata itu berwisata ke alam terbuka. “Tetapi, ekowisata menyimpan pesan bahwa wisatawan juga ingin mendapat pengetahuan tentang alam, budaya masyarakat lokal,” katanya. Yang tak kalah penting adalah kegiatan pengelola destinasi wisata tidak merusak alam. “Jika pengelolaannya mengganggu ekosistem, maka tempat itu tak bisa disebut destinasi ekowisata.”
Ada hal mendasar yang membedakan destinasi ekowisata dengan objek wisata secara umum, yaitu fasilitas pendukung. Di destinasi wisata biasanya terdapat berbagai fasilitas untuk mendukung kenyamanan pengunjung. Misalkan toilet dan tempat makan. Ketika membangun fasilitas tersebut, Diyah mengingatkan, terkadang pengelola lupa memperhatikan ekosistem.
“Di destinasi ekowisata, wisatawan tidak akan menemukan fasilitas pendukung,” ujarnya. Musababnya, tujuan ekowisata adalah melindungi kealamian lingkungan sekaligus menyejahterakan masyarakat. Wisatawan dapat membantu perekonomian penduduk sekitar dengan membeli produk buatan mereka, misalnya madu hutan atau menggunakan jasa sebagai pemandu, menyewa tenda, sampai meminta mereka membuat makanan.
- Ekowisata tak selalu murah
Sebagian orang berpikir, karena traveling ke alam, artinya tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk menginap di hotel dengan fasilitas bagus atau untuk makan di restoran. Jadi, biayanya akan lebih murah daripada jalan-jalan ke kota atau destinasi wisata populer.
Anggapan ini tidak benar. Ekowisata justru cenderung memakan banyak biaya. Diyah mencontohkan, kalau suatu tempat wisata dibuka secara besar-besaran, maka tiket masuknya akan lebih murah. Sedangkan destinasi ekowisata yang jumlah pengunjungnya dibatasi, maka biayanya akan lebih tinggi.
“Pengunjung destinasi ekowisata dibatasi agar alam tidak rusak,” katanya. Dampaknya, pemasukan pengelolanya juga terpengaruh. Pendapatan itu juga bukan hanya untuk pengelola, melainkan disebar untuk berbagai aspek. Sebagian besar buat pemeliharaan tempat dan pemberdayaan masyarakat.
Jika kondisi destinasi ekowisata dibiarkan alami dan tak punya fasilitas yang perlu dirawat, kenapa perlu banyak dana untuk memelihara? Diyah menjelaskan, justru karena tempat itu masih alami, maka banyak orang bisa asal saja mengambil sesuatu dari hutan. Misalkan mengambil kayu. Supaya tidak terjadi, perlu penjaga hutan atau ranger. Ada pula yang bertugas membersihkan jalur jalan ketika ada pohon yang tumbang karena angin.
Kendati terbilang mahal, Diyah menjamin travelling ke destinasi ekowisata akan sepadan dengan biayanya.
- Kegiatan di destinasi ekowisata sama seperti tempat wisata lainnya
Kalau sama-sama ke hutan, meski yang satu menerapkan konsep ekowisata dan satunya lagi tidak, artinya kegiatan yang bisa dilakukan akan sama saja. Pemahaman ini juga keliru. Di destinasi ekowisata, pengunjung dapat melakukan banyak kegiatan yang menyenangkan.
Diyah bercerita, ketika pergi ke Tangkahan, dia menemukan hutan yang masih sangat alami. Tidak dibuat apa-apa di dalamnya. Yang ada jalan setapak tanah kecil tak berbatu. Di tengah hutan dia melihat babi, monyet, dan sungai yang masih alami. “Kami kembali ke perkampungan dengan duduk di ban, bukan speedboat. Jadi, tidak ada kegiatan yang merusak alam,” katanya.
Bagi pengunjung, tersedia rumah-rumah ramah lingkungan yang dilengkapi toilet. Wisatawan bisa memilih akan menginap di bangunan yang sudah tersedia atau menumpang di rumah penduduk. “Menginap di hutan juga bisa. Ada area yang dapat digunakan untuk membangun tenda, tanpa membuka lahan,” katanya. Biasanya wisatawan menginap di sekitar sungai atau area lapang di bawah pepohonan.
- Eco-friendly travelling sama dengan ecotourism
Bukan karena sama-sama menyandang kata eco, maka dua aktivitas wisata ini memiliki makna yang sama. Eco-friendly travelling lebih pada rasa kepedulian atau tanggung jawab wisatawan terhadap lingkungan. Sementara ecotourism merupakan destinasi wisata tidak merusak alam.
Diyah menjelaskan, ada benang merah di antara eco-friendly travelling dengan ecotourism, yaitu sama-sama peduli terhadap alam. Hanya caranya yang berbeda. Dia mencontohkan perilaku eco-friendly travelling. Ketika bepergian dengan pesawat, artinya ada jejak karbon yang cukup besar. Hasil karbondioksida dari bahan bakar pesawat memicu polusi. Apabila wisatawan memahami tentang eco-friendly traveling, maka dia akan bertanggung jawab ‘mengganti’ pelepasan karbon tersebut. Salah satu caranya dengan mengadopsi pohon yang sudah cukup besar dan telah menghasilkan banyak oksigen.
Perilaku eco-friendly travelling juga dapat diterapkan di destinasi wisata. Cara yang paling mudah, tidak membuang sampah sembarangan, tidak merusak pohon dengan mengukir nama, tidak mengambil segala sesuatu dari alam untuk dibawa pulang.