Pekerjaan Langka, Anak-anak Muda Gaza Tak Lagi Punya Harapan
Pekerjaan Langka, Anak-anak Muda Gaza Tak Lagi Punya Harapan
TEMPO.CO, Jakarta – Beberapa jam lagi, Sabreen Abu Jazar menuntaskan perjalanan berbahaya dari Gaza untuk bertemu suaminya di Eropa bulan lalu ketika kapal migrannya terbalik dan tenggelam 100 meter dari pantai Yunani. Tubuhnya akhirnya dipulangkan ke rumah minggu ini.
Setelah meninggalkan Gaza, Februari, lewat Mesir, Sabreen terbang ke Turki di mana ia bertemu suaminya, yang telah bermigrasi ke Belgia bertahun-tahun lalu. Mereka telah berencana untuk bertemu lagi di Yunani, di mana sang suami menjanjikan bulan madu, tetapi Sabreen tidak pernah sampai.
Jumlah warga Palestina yang melakukan penyeberangan berbahaya ke Eropa meningkat, terdorong niat melarikan diri dari perang yang berulang-ulang dan blokade Israel dan Mesir yang membuat Gaza terisolasi sejak gerakan Hamas berkuasa pada 2007.
Angka PBB menunjukkan lebih dari 2.700 warga Palestina tiba di Yunani lewat laut pada 2022, yang berarti 22% dari total kedatangan perahu, tertinggi di antara kelompok kebangsaaan mana pun. Data Uni Eropa dari tahun lalu juga menunjukkan peningkatan tajam dalam aplikasi suaka oleh orang-orang Palestina di Yunani, titik masuk utama ke Eropa.
Tidak semua tiba di tujuan. Menurut Euro-Med Human Rights Monitor, lebih dari 378 orang tewas atau hilang saat berusaha bermigrasi dari Gaza sejak 2014. Dalam 2023, sejauh ini tiga orang meninggal dunia.
“Sabreen menjalani hidup selama 24 tahun di antara blokade dan situasi ekonomi yang pahit, dan seperti anak-anak muda Gaza lainnya ia berhenti berharap ada kebebasan dan situasi yang lebih baik di Gaza, kata pamannya Alaa Abu Jazar, seperti dilansir Reuters, Rabu, 22 Maret 2023.
Faksi-faksi Politik
Pekerjaan-pekerjaan di Gaza sangat langka, untuk tamatan perguruan tinggi maupun untuk yang lain, dan ketika sebuah posisi tersedia, yang mendapatkan adalah orang-orang yang dekat dengan faksi-faksi politik.
Mendasari krisis tersebut adalah blokade yang dipimpin Israel selama 16 tahun di Gaza, rumah bagi 2,3 juta orang, ditambah dengan perpecahan politik internal yang telah melemahkan aspirasi politik Palestina untuk menjadi negara bagian.
Ahmed Al-Deek, seorang pejabat di Kementerian Luar Negeri Palestina, mendesak warga Palestina di Gaza dan kamp-kamp pengungsian di negara-negara Arab untuk tidak melakukan perjalanan ilegal tetapi mengatakan blokade yang dipimpin Israellah yang menjadi alasan utama anak-anak muda Gaza pergi untuk mencari masa depan yang lebih baik di luar negeri.
Deek juga menyalahkan perpecahan internal yang tak kunjung usai antara Fatah dan Hamas dan menyerukan “semua pejabat di Jalur Gaza untuk memikul tanggung jawab mereka dan menyelesaikan masalah kaum muda dan memberi mereka kehidupan yang bermartabat.”
Warga Gaza mengatakan mereka diperintah oleh tiga pemerintah: Otoritas Palestina Presiden Mahmoud Abbas, yang memiliki pemerintahan sendiri terbatas di Tepi Barat yang diduduki Israel, dan yang mempekerjakan ribuan orang di Gaza, kelompok Islam Hamas, yang menjalankan Gaza, dan Israel, entitas ketiga yang mengontrol perbatasan de facto-nya.
Mohammad Kuhail, 26, seorang lulusan fisioterapi, mencoba selama enam tahun untuk mendapatkan pekerjaan di lembaga-lembaga yang dijalankan oleh Hamas, PBB atau yang berafiliasi dengan gerakan Fatah Abbas. Tapi ia gagal.
“Jika saya dari Hamas, mereka akan mempekerjakan saya,” kata pria berusia 26 tahun itu. “Fatah juga sama, Fatah peduli dengan orang-orang Fatah,” kata Kuhail yang menghabiskan waktunya di kafe-kafe murahan bersama teman-teman pengangguran lainnya.
Enam saudara kandungnya lulusan perguruan tinggi, dua di antaranya insinyur, dan tak satu pun yang pernah mendapatkan pekerjaan, katanya, membuat seluruh keluarga bergantung pada ayahnya yang seorang penjaga sekolah.
Menurut perkiraan Palestina dan PBB, pengangguran kaum muda di Gaza mencapai sekitar 70%, angka yang membuat mimpi membangun masa depan apa pun di luar jangkauan sebagian besar kaum muda.