Rektor UI Rangkap Komisaris, Politikus PDIP: Itu Salah Nadiem dan Erick Thohir
JAKARTA – Perubahan Statuta Universitas Indonesia (UI) yang membolehkan rektor UI merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN membuat pemerintah dan Presiden Jokowi terus mendapat kritik pedas dari publik. Tetapi berbeda dengan lainnya, anggota DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan justru menyebut Rektor UI Ari Kuncoro lah yang bermasalah.
Sebab Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2021 hasil revisi itu terbit setelah yang bersangkutan menduduki jabatan rangkap selaku Komisaris BRI, terlepas dari perdebatan soal nilai, materi muatan norma dan politik hukum pemerintah.
“UI itu kan, punya motto
tagline yang menjadi values anak UI, yakni Veritas (Kebenaran), Probitas (Jujur), Iustitia (Adil), motto yang jadi kebanggan kita semua. Tapi kalau dilihat ulah rektornya, ya sangat memalukan. Masa iya sih dia itu Presiden Republik UI posisi politik yang sangat tinggi, kok masih mau ambil jabatan komisaris BUMN yang notabene anak buah seorang menteri,” kata Arteria kepada wartawan, Rabu (21/7/2021).
Sebagai alumni, anggota Fraksi PDIP ini merasa terlecehkan dam seharusnya Ari Kuncoro mundur saja dari jabatan Rektor UI kalau memang punya keinginan lain.
“Ngurusin UI saja kalau bener-bener diurus itu waktunya sangat kurang, apalagi kalau harus berbagi perhatian walau jadi komisaris sekalipun,” tukasnya.
Anggota Komisi III DPR ini menegaskan, rangkap jabatan itu melawan hukum, karena Ari Kuncoro saat merangkap jabatan masih memakai statuta lama yakni PP 68/2013, dan demi hukum harusnya Ari bisa diberhentikan oleh Mendikbudristek. Dan segala penerimaan yang dilakukan dengan cara melawan hukum itu pun bisa dikatagorikan perilaku koruptif berdasarkan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Dan Arteria pun menuding Mendikbudristek Nadiem Makarim dan Menteri BUMN Erick Thohir yang seharusnya menyelesaikan persoalan ini sejak kemarin.
“Masalah ini kan bisa selesai kalau kemarin Mendikbud Ristek tegas dan Meneg BUMN juga menghormati hukum. Kasihan Pak Jokowi direpotkan untuk urusan-urusan yang seperti ini, padahal punya pembantu-pembantu yang harusnya bisa menjaga hal seperti ini tidak terjadi,” ujar Arteria.
Lebih dari itu, dia menyarankan agar anak UI harus pintar, pintar pikiran, pintar juga dalam tindakan. Suarakam terus ketidakbenaran lalu gunakan kanal-kanal konstitusional sebagai upaya aksi. Bisa uji materi PP ke Mahkamah Agung (MA), gugat surat keputusan (SK) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), laporan maladministrasi ke Ombudsman dan kalau ada perilaku koruptif laporkan ke penegak hukum.
“Jadi Veritas, Probitas, Iustitia itu bagi anak UI harus dalam setiap gerak langkah hidup dan kehidupan. Itu yang membedakan kita dengan yang lain bukan?,” pungkas Arteria.