Politikus Golkar Misbakhun Sarankan Cara Pemungutan Pajak ketimbang Naikkan PPN
JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun mengkristi rencana pemerintah menaikkan tarik pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 15% pada tahun depan.
Kritik itu diungkapkan langsung Misbakhun di hadapan Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan (Menkeu) dan jajarannya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin 24 Mei 2021.
Politikus partai Golkar tersebut bertanya-tanya soal alasan di balik rencana itu, karena Kemenkeu terkesan tidak mengetahui detail persoalan yang ada.
Menurut Misbakhun, selama ini masyarakat tidak hanya terbebani PPN maupun pajak penjualan atas barang mewah (PPNBM). Di lapangan, sambung dia, masyarakat juga dibebani masalah-masalah administrasi serta pungutan yang tak kredibel.
Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu menyatakan hal yang selama ini tak pernah disentuh justru cara memperbaiki sistem administrasi dan pemungutan yang lebih sederhana namun tegas. “Sampai sekarang saya belum pernah menemukan reformasi administrasi sistem IT pemungutan ini sehingga jadi lebih baik,” ujar Misbakhun.
Menurut dia, Kemenkeu harus memiliki opsi selain menaikkan tarif pajak. “Misalnya, membuat sistem pajak penjualan yang lebih sederhana,” tuturnya.
Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) itu lalu menyebut opsi lain di luar kebijakan tentang kenaikan tarif pajak. Misalnya, mengubah full credit system yang selama ini dipakai oleh negara ke selected credit system. “Ini harus dipikirkan. Kenapa tiba-tiba (Kemenkeu) jumping ke ide perlu menaikkan tarif pajak?” ucapnya.
Misbakhun mengatakan kenaikan tarif pajak tidak serta-merta membuat pendapatan dari perpajakan meningkat. Sebab, kenaikan tarif pajak justru bisa kontraproduktif. “Begitu tarif pajak dinaikkan, orang akan berpikir ulang untuk berbelanja. Belum lagi kontraksi kenaikan itu ke recovery ekonomi kita belum matang,” lanjut Misbakhun.
Misbakhun juga meminta SMI belajar perbedaan antara tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak). Dia menjelaskan ada dua hal itu berbeda. “Penghindaran adalah upaya melakukan tax planning. Evasion adalah kriminal perpajakan. Menyamaartikan itu akan memberikan sinyal bahwa kita kurang dalam memberikan ruang-ruang tax planning dalam aturan kita,” ujarnya.
Misbakhun juga berbicara tentang pentingnya konsistensi dalam membuat kebijakan dan tak membuat presiden merasa dipermalukan.
Wakil rakyat asal Pasuruan, Jawa Timur, itu mencontohkan kritikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas kebiasaan pemda menyimpan APBD di bank ketimbang membelanjakannya. Namun, pemerintah pusat justru memiliki sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (SILPA) tingga pada 2020, yakni Rp 243 triliun.
“Artinya, pusat yang justru mengajarkan tak membelanjakan. Kalau kita kritik daerah tak membelanjakan, pemerintah pusat artinya apa? Tak terserapnya anggaran artinya government goal is not working,” kata Misbakhun.