Sentil Keras Ganjar Pranowo, PDIP Mainkan Model Marketing Politik Tradisional
JAKARTA – Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengakui tidak mengundang Gubernur Jawa Tengah (Jateng) G anjar Pranowo dalam acara Pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya yang dihadiri Puan Maharani di Panti Marhaen Kota Semarang, Sabtu 22 Mei 2021.
Ketua DPD PDIP Jateng, Bambang Wuryanto secara terang-terangan mengaku sikap Ganjar kelewatan terkait ambisinya menjadi presiden mendatang.
Menanggapi hal itu, Direktur Esekutif Indonesian Presidential Studies (IPS)-Jakarta, Nyarwi Ahmad menilai, PDIP mengedepankan model pemasaran politik traditional yang berbasis pada ideologi partai politik (Parpol). “Di sini Parpol ditempatkan sebagai elemen terpenting,” ujar Nyarwi, Senin (24/5/2021).
Dia mengatakan, Parpol yang menganut model pemasaran ini biasanya lebih mengedepankan kinerja kolektif organisasi Parpol sebagai produk politik utamanya, dibandingkan citra dan kinerja para publik figur yang dimiliki oleh atau menjadi kader Parpol yang selama ini menduduki jabatan publik, termasuk kepala daerah atau gubernur. “Model pemasaran politik seperti ini bisa saja efektif jika didukung dengan syarat-syarat berikut,” tuturnya.
Syarat pertama, kata dia, Parpol memiliki tingkat Party ID yang kuat. Dibandingkan dengan Partai-partai lainnya, dia menambahkan, Partai ID pemilih PDIP secara umum lebih besar atau kuat.
Namun, kata dia, para pemilih PDIP yang memiliki party ID kuat tersebut secara umum belum merata di seluruh Indonesia. “Mereka yang memiliki party ID kuat tersebut masih ada di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Meski demikian, untuk syarat yang pertama ini, PDIP secara umum memiliki modal yang cukup baik,” ungkapnya.
Syarat yang kedua, ujar dia, PDIP mampu menata struktur organisasi kepartaiannya tidak hanya sebagai organisasi Parpol, namun juga menjadi mesin pemasaran politik yang efektif dan penetrative. Dia mengatakan, mesin itu juga harus gesit di berbagai jenis lapangan atau arena politik, bukan hanya di media sosial saja.
Untuk mencapai itu, menurut dia, para elite PDIP dituntut mampu melakukan penetrasi pasar politik secara intens ke kalangan masyarakat luas melalui berbagai jenis interaksi langsung. “Namun di tengah menguatnya penggunaan berbagai jenis platform sosial media dan dalam situasi pandemic saat ini, penggunaan sosial media kian tak terelakkan,” tuturnya.
Selain itu, dia berpendapat bahwa tanpa memaksimalkan penggunaan media sosial, penetrasi pasar PDIP di kalangan anak-anak muda kian terbatas. “PDIP bisa saja mampu mendapatkan dukungan besar dari para pemilih tua, namun bisa kurang populer di kalangan anak muda,” imbuhnya.
Syarat ketiga, dia melanjutkan, para elite PDIP khususnya yang menjadi publik figure atau menjabat di lembaga-lembaga Negara atau pemerintahan mampu lebih memasarkan partainya, dibandingkan dengan dirinya. “Dalam hal ini, mereka dituntut memiliki semangat kolektif untuk lebih mengedepankan visibilitas kinerja PDIP sebagai sebuah parpol dalam panggung politik lokal dan nasional dibandingkan kinerja dirinya sebagai personal,” ujarnya.
Menurut dia, kritik yang disampaikan oleh Bambang Wuryanto ke Ganjar Pranowo agar tidak terlalu ambisius masuk dalam bursa Capres 2024 sepertinya dapat dibaca sebagai warning bagi semua kader PDIP yang saat ini menjadi pejabat publik, khususnya memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi, agar lebih mampu memasarkan Parpolnya, bukan sekadar memasarkan dirinya saja.
“Namun, hal tersebut sepertinya tidak mudah, karena dalam panggung politik local dan nasional saat ini, visibilitas profil dan kinerja elite-elite parpol, khususnya yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif, lebih menonjol, dibandingkan visibilitas kinerja organisasi parpolnya,” pungkasnya.