Negara Arab yang Sudah Berdamai dengan Israel Kesal, Palestina Digempur Bertubi-tubi
PALESTINA – Sejumlah negara Arab yang telah berdamai dengan Israel mulai kesal, karena Palestina dibombardir. Kesepakatan Abraham yang sebelumnya didengungkan, merupakan perjanjian yang ditandangani Israel dengan empat negara Arab, yaitu Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan.
Namun konflik yang kembali pecah di Timur Tengah dalam sepekan terakhir, menyebabkan upaya normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel itu jadi tertunda.
Kesepakatan Abraham,yang dibuat pada penghujung pemerintahan Donald Trump di AS, menjadi penanda bahwa negara-negara Arab itu tidak sekadar memulihkan hubungan dengan Israel, namun juga memulai kerja sama di sejumlah sektor, termasuk keamanan dan intelijen.
Beberapa pekan setelah penandatanganan perjanjian itu di Washington, Kepala Badan Intelijen Luar Negeri Israel, Mossad, mendapat sambutan karpet merah di kawasan Teluk. Padahal sampai tahun lalu hal seperti ini mustahil bisa terjadi.
Tapi kini pemerintah negara-negara Arab yang ikut perjanjian itu, terutama UEA dan Bahrain, berad dalam posisi yang tidak nyaman.
Setelah mengungkapkan kepada rakyat mereka mengenai manfaat kerja sama dengan Israel di bidang perdagangan, pariwisata, riset medis, ekonomi hijau, dan pembangunan saintifik, negara-negara Arab itu kini dalam situasi yang janggal saat tayangan televisi selama 24 jam menunjukkan aksi Israel membombardir Gaza, mengusir warga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem Timur, serta mengerahkan polisi ke kompleks suci Masjid Al-Aqsa pekan lalu.
Bagaimana sikap Arab Saudi?
Arab Saudi, yang ditekan Amerika Serikat agar segera ikut menormalisasi hubungan dengan Israel, saat ini bernapas lega setelah mereka tidak langsung menuruti. Mungkin juga Arab Saudi tak kunjung menormalisasi hubungan dengan Israel karena situasi yang terjadi sekarang bisa muncul sewaktu-waktu.
Yerusalem, yang menjadi tempat suci ketiga bagi umat Islam setelah Mekah dan Madinah, selalu mendapat perhatian yang besar bagi umat Muslim di penjuru dunia, sehingga kejadian seperti di Masjid Al-Aqsa itu telah menyentuh nurani Arab Saudi dan lain-lainnya di Timur Tengah.
Pemerintah Bahrain pun sudah mengeluarkan pernyataan pekan ini yang menegaskan lagi dukungannya bagi perjuangan bangsa Palestina.
Michael Stephens, peneliti dari Royal United Services Institute yang berbasis di London, menilai bahwa pandangan negara-negara Arab yang jadi peserta Kesepakatan Abraham bahwa mereka akan memberi pengaruh bagi Israel dalam membantu perjuangan Palestina, telah pupus.
Bahkan imbauan dari Presiden AS saat ini, Joe Biden, dalam mengendalikan situasi itu tampaknya tidak banyak berpengaruh saat ini.
Sebagian besar pemerintah negara-negara Arab di Teluk selama ini kurang suka dengan Hamas, kelompok bersenjata dukungan Iran yang telah menembakkan lebih dari 1.000 roket dan rudal dalam beberapa hari terakhir ke kota-kota di Israel.
Karena itu, simpati dan dukungan dari negara-negara Arab itu pun lebih ditujukan kepada rakyat Palestina pada umumnya.
Jadi, bila sebelumnya ada keengganan dari Palestina untuk menerima kenyataan bahwa ada negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel untuk kali pertama dalam beberapa puluh tahun terakhir, maka konflik yang saat ini terjadi justru memperdalam sikap skeptis itu.
Kekerasan di Timur Tengah terjadi beberapa pekan setelah maskapai Etihad asal Uni Emirat Arab memulai rute penerbangan langsung ke Israel.
Namun, liputan media massa negara-negara Arab atas konflik itu tidak selalu berat sebelah seperti yang terjadi di konflik-konflik Arab-Israel sebelumnya.
Liputan media stasiun televisi Arab Saudi, Al-Arabiya, di satu sisi memfokuskan serangan udara Israel di Gaza, namun juga menunjukkan tayangan di kota-kota Israel di mana warganya mencari perlindungan dari serangan roket Hamas dan saat sirene dibunyikan.
Sky News Arabia, yang berbasis di Uni Emirat Arab, juga terfokus ke Gaza, namun juga mencantumkan pernyataan-pernyataan Israel bahwa mereka menargetkan serangan atas panglima-panglima perang Hamas.