Komando Strategis AS: Reaktor China Akan Hasilkan Plutonium Tingkat Senjata
WASHINGTON – Fasilitas tenaga nuklir generasi baru yang sedang dikembangkan China dapat menghasilkan plutonium dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk membuat senjata nuklir . Hal itu diungkapkan kepala Komando Strategis Amerika Serikat (AS), memperingatkan anggota parlemen minggu ini.
China diketahui sedang mengembangkan reaktor pembiak cepat dan fasilitas pemrosesan ulang untuk mengurangi ketergantungan pada batu bara, sumber utama emisi karbon. Tapi reaktor itu juga menghasilkan plutonium yang bisa digunakan untuk membuat senjata nuklir. Reaktor pembiak cepat pertama diproyeksikan akan beroperasi pada tahun 2023.
“Dengan reaktor pembiak cepat, Anda sekarang memiliki sumber plutonium tingkat senjata yang sangat besar yang tersedia untuk Anda, yang akan mengubah batas atas dari apa yang China dapat pilih untuk lakukan jika mereka mau, dalam hal perluasan lebih lanjut dari kemampuan nuklir mereka,” ujar Laksamana Angkatan Laut Charles Richard, komandan Komando Strategis (STRATCOM) AS, kepada Komite Angkatan Bersenjata Senat pada hari Selasa.
STRATCOM sendiri mengawasi persenjataan senjata nuklir AS.
Richard mengatakan para pejabat AS baru-baru ini mengetahui tentang seberapa cepat China bergerak untuk membangun program nuklir sipilnya.
“Sekitar seminggu yang lalu kami menyadari hal itu dan memulai proses untuk memahami implikasinya,” kata Richard.
Meski tidak ada bukti bahwa China bermaksud untuk mengalihkan potensi cadangan plutoniumnya ke penggunaan senjata, tetapi kekhawatiran telah berkembang karena Beijing diperkirakan akan menggandakan jumlah hulu ledak nuklirnya selama dekade berikutnya dari yang terendah 200-an hulu ledak.
China sendiri mengatakan program nuklirnya untuk tujuan damai. Kedutaan Besar China di Washington tidak segera menanggapi permintaan komentar terkait pernyataan ini.
Bulan lalu sebuah laporan yang disebut “Sektor Nuklir Sipil China: Mata Bajak ke Pedang”, mengatakan China telah mulai membangun pabrik kedua untuk memproses ulang bahan bakar nuklir bekas yang dapat digunakan sebelum tahun 2030.
Christopher Ford, mantan pejabat nonproliferasi di Departemen Luar Negeri di bawah mantan Presiden Donald Trump, mengatakan para pejabat AS mungkin tidak dapat berbuat banyak tentang masalah ini selain mengecamnya dan menunjukkan betapa tidak stabilnya hal itu di kawasan serta memberikan tekanan kepada China untuk tidak melakukan hal yang tidak perlu secara ekonomi dan berbahaya secara strategis ini.
Pemrosesan ulang limbah nuklir belum dipraktikkan selama beberapa dekade di AS setelah mantan Presiden Jimmy Carter menghentikannya karena masalah proliferasi.