Sudah 510 Tewas sejak Kudeta Myanmar, Demonstran Lakukan Serangan Sampah
YANGON – Jumlah korban tewas akibat kekerasan pasukan junta Myanmar sudah mencapai 510 orang sejak kudeta militer 1 Februari. Data itu dirilis ketika para demonstran meluncurkan kampanye pembangkangan sipil baru dengan membuang sampah ke jalan-jalan, Selasa (30/3/2021).
Data korban tewas itu dirilis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP). Data tersebut merupakan akumulasi dari tambahan data korban tewas dari kalangan sipil sebanyak 14 orang pada hari Senin. Menurut AAPP, dari 14 korban tewas itu, delapan di antaranya di distrik Dagon Selatan di Yangon.
Para saksi mata mengatakan pasukan keamanan di daerah itu menembakkan senjata kaliber yang jauh lebih berat dari biasanya pada Senin untuk membersihkan barikade kantong pasir. Belum jelas jenis senjata apa yang digunakan.
Stasiun televisi pemerintah mengatakan pasukan keamanan menggunakan “senjata antihuru-hara” untuk membubarkan kerumunan “orang-orang teroris yang kejam” yang menghancurkan trotoar. Media pemerintah kerap menggunakan narasi teroris untuk menjuluki para demonstran antikudeta.
Seorang warga Dagon Selatan pada hari Selasa mengatakan lebih banyak tembakan terdengar di daerah itu semalam, yang meningkatkan kekhawatiran tentang jatuhnya korban yang lebih banyak.
Menurut Reuters, polisi dan juru bicara junta militer Mynamar tidak menjawab panggilan untuk meminta komentar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak para jenderal Myanmar untuk menghentikan pembunuhan dan penindasan terhadap demonstrasi.
“Aksi serangan sampah ini adalah aksi menentang junta,” tulis sebuah poster demonstrasi di media sosial.
Langkah itu bertentangan dengan seruan yang dikeluarkan melalui pengeras suara di beberapa lingkungan Yangon pada hari Senin yang mendesak penduduk untuk membuang sampah dengan benar.
Salah satu kelompok utama di balik protes antikudeta, Komite Mogok Umum Nasional, pada hari Senin dalam sebuah surat terbuka meminta pasukan etnis minoritas untuk membantu mereka yang menentang penindasan yang tidak adil oleh militer.
Sebagai tanda bahwa seruan itu mungkin mendapatkan lebih banyak daya tarik, tiga kelompok etnis dalam surat bersama pada Selasa meminta militer untuk berhenti membunuh pengunjuk rasa damai dan menyelesaikan masalah politik.
Ketiga kelompok—Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar, Tentara Arakan dan Tentara Pembebasan Nasional Ta’ang—memperingatkan jika militer tidak mengindahkan permintaan mereka, maka mereka akan bekerja sama dengan semua bangsa yang bergabung dengan revolusi musim semi Myanmar dalam hal pertahanan diri.
Kelompok pemberontak dari berbagai kelompok etnis telah berperang dengan pemerintah pusat selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar. Meskipun banyak kelompok telah setuju untuk gencatan senjata, pertempuran telah berkobar dalam beberapa hari terakhir antara tentara Myanmar dan pasukan etnis di timur dan utara negara itu.
Bentrokan hebat pecah pada akhir pekan di dekat perbatasan Thailand antara tentara Myanmar dan milisi dari pasukan etnis minoritas tertua Myanmar, Persatuan Nasional Karen (KNU).
Sekitar 3.000 penduduk desa melarikan diri ke Thailand ketika jet militer membom daerah KNU setelah pasukan KNU menyerbu pos militer dan menewaskan 10 tentara.Pihak berwenang Thailand membantah pernyataan kelompok aktivis bahwa lebih dari 2.000 pengungsi telah dipaksa kembali, tetapi seorang pejabat Thailand mengatakan itu adalah kebijakan pemerintah bagi tentara untuk memblokir mereka di perbatasan dan menolak akses terhadap kelompok bantuan luar.
Militer Myanmar selama beberapa dekade membenarkan cengkeramannya pada kekuasaan dengan mengatakan bahwa itu adalah satu-satunya institusi yang mampu menjaga persatuan nasional. Mereka merebut kekuasaan dengan mengatakan bahwa pemilu November 2020 yang dimenangkan oleh partainya Aung San Suu Kyi diwarnai kecurangan, sebuah tuduhan yang dibantah oleh komisi pemilu.
Perwakilan Dagang AS, Katherine Tai, mengatakan Amerika Serikat menangguhkan semua keterlibatan perdagangan dengan Myanmar sampai kembalinya pemerintah yang dipilih secara demokratis.
Tetapi kritik asing dan sanksi Barat telah gagal memengaruhi para jenderal dan Suu Kyi tetap ditahan di lokasi yang dirahasiakan dan banyak tokoh lain di partainya juga ditahan.