Pembelajaran Jarak Jauh Picu Pernikahan Dini, Sekolah Tatap Muka Dinanti
JAKARTA – Pendidikan masyarakat menjadi faktor penting yang perlu ditingkatkan baik dari layanan maupun aksesnya untuk mencegah pernikahan dini bagi perempuan dan anak-anak. Sejumlah penelitian terkait dampak pandemi Covid-19 yang memaksa dilaksanakannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menemukan bahwa ratusan anak di Indonesia putus sekolah dan kehilangan ilmu (learning loss). Dampak lainnya, sebagian anak yang putus sekolah menikah dini.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan dalam perkawinan yang seringkali menjadi korban adalah perempuan dan anak sehingga peran pendidikan perlu terus ditingkatkan sebagai kunci membangun kemampuan dan kematangan individu. “Hal yang paling utama dipersiapkan sebelum pernikahan adalah kematangan. Bukan hanya terlihat dari kesiapan fisik semata, bukan kuantitatif semata harus lebih kualitatif. Jadi harus siap secara fisik dan mental,” kata Ma’ruf dalam Seminar Nasional dan Deklarasi Gerakan Nasional Pendewasaan Usia Perkawinan untuk Peningkatan Kualitas SDM Indonesia di Jakarta, Kamis, 18 Maret 2021.
Pada Desember 2020, UNICEF menemukan 938 anak di Indonesia putus sekolah akibat pandemi Covid-19. Bahkan, 75% di antaranya tak bisa melanjutkan sekolahnya. Fenomena tersebut juga didukung data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dimana sejak awal pandemi Covid-19 hingga Februari 2021 sudah lebih dari 150 anak putus sekolah karena menikah dan bekerja
KPAI kerap mendapat pengaduan orangtua yang sulit membayar sekolah terutama sekolah swasta baik jenjang PAUD hingga SMA/SMA. Pengaduan mulai dari meminta pengurangan SPP karena adanya kebijakan PJJ dan masalah tunggakan SPP, mulai dari 3 bulan sampai 10 bulan. “Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa PJJ akibat pandemi berpotensi kuat meningkatnya angka putus sekolah dan pernikahan anak,” ungkap Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti sebelumnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan kondisi pandemi saat ini turut memicu meningkatnya perkawinan anak yang harus diatasi. Banyak tantangan dan faktor yang terjadi salah satunya adanya pembatasan sosial. “Adanya pembatasan sosial dan sistem pembelajaran dari rumah mengurangi aktivitas anak dan terbatasnya pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja,” tegas dia
Karena itulah, kebijakan PJJ yang terlalu lama dinilai akan menjadi salah satu pemicu peserta didik berhenti sekolah dan learning loss. Kondisi para siswa yang tidak memiliki fasilitas pendukung proses PJJ mendorong siswa malas dan putus sekolah sehingga memunculkan niatan menikah dini atau siswa memilih bekerja membantu ekonomi keluarga karena orangtua kehilangan pekerjaan. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat terdapat sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin sepanjang Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, (MUI) Miftahul Akhyar mengatakan pernikahan bukan sekadar memenuhi syarat-syarat administratif saja. Islam tidak membatasi usia perkawinan, tetapi ada penekanan kedewasaan dan tujuan keharmonisan. “Orang bisa mencapai ketenangan jiwa adalah orang yang dewasa, pintar, cerdas, dan bertanggung jawab. Kedewasaan, bertanggungjawab itu bisa didapatkan siapapun selama dia memiliki kemampuan dan pemahaman yang benar,” ujarnya.