Trump-Biden Terlibat Perang Hukum Soal Kemenangan Pilpres
WASHINGTON – Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengungkapkan penolakan kekalahan oleh Presiden Donald Trump pada pemilu pekan lalu sebagai hal “memalukan”. Biden pun terus menjalin kontak dengan pemerintah asing lain dan menegaskan bahwa “AS telah kembali”.
Trump sendiri mengungkapkan dirinya memenangi pemilu. Padahal, proyeksi media AS tentang pemenang pemilu sudah menjadi tradisi empat tahunan. Meskipun belum ada negara bagian yang mengumumkan secara resmi tentang siapa pemenang pemilu karena penghitungan surat suara masih berlangsung.
Ketika ditanya reporter tentang penolakan Trump terhadap kekalahannya pada pemilu presiden, Biden menjawab, “Saya pikir itu hal memalukan, sejujurnya. “Saya pikir itu tidak akan membantu legasi presiden (Trump),” katanya. Pada akhirnya, menurut Biden, semuanya akan berbuah pada 20 Januari mendatang.
Biden juga sudah menjalin komunikasi dengan pemimpin asing sebagai persiapan dalam pemerintahan transisi. Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanserlir Jerman Chancellor Angela Merkel merupakan pemimpin yang dihubungi Biden. “Saya memberi tahu bahwa Amerika telah kembali. Kita akan kembali ke permainan,” katanya.
Juru bicara pemerintahan Trump, Kayleigh McEnany, mengatakan, pertarungan hukum baru saja dimulai. “Pemilu belum selesai,” katanya. Dia mengatakan, hasil pemilu masih jauh.
Tim kampanye Trump mengajukan gugatan di pengadilan federal di Pennsylvania untuk menghentikan langkah pejabat memberikan kemenangan kepada Biden. Tapi, jaksa agung negara bagian Pennsylvania Josh Shapiro menyebutkan gugatan hukum tersebut tak berguna.
Namun demikian, jaksa agung di negara bagian yang dikuasai Partai Republik justru mendukung Trump untuk melawan hasil pemilu. 10 jaksa agung negara bagian mengajukan dukungan kepada Mahkamah Agung untuk mendukung langkah Trump di Pennsylvania. Sementara itu, Presiden AS Donald Trump telah memecat Menteri Pertahanan Mark Esper. Keputusan itu dikeluarkan setelah Trump dan Esper tidak sejalan dalam mendekati berbagai isu, termasuk penggunaan kekerasan dalam menertibkan massa pengunjuk rasa.
Anggota Partai Demokrat merespons pemecatan Esper dengan penuh waspada. Juru Bicara (Jubir) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS, Nancy Pelosi, mengatakan langkah yang diambil Trump membahayakan, menciptakan permusuhan, dan meredupkan terjadinya transisi yang mulus.
“Pemecatan Esper tanpa alasan yang jelas dan benar merupakan bukti bahwa Presiden Trump hendak menggunakan kekuasaannya pada hari terakhir untuk menciptakan kekacauan di tanah AS,” ujar Pelosi, dikutip Reuters. Anggota lain, Adam Smith, juga menilai tindakan Trump kekanak-kanakan.
Di Twitter, Trump mengatakan posisi Esper akan digantikan Christopher Miller, Direktur Pusat Kontraterorisme Nasional. Pejabat kementerian pertahanan (Kemenhan) AS secara anonim mengatakan Kepala Staf Gedung Putih, Mark Meadows, memanggil Esper semenit sebelum dia dipecat Trump.
Setiba di Gedung Putih, Esper diberitahu dia telah dipecat secara resmi sejam setelah Trump mengumumkan pemecatannya di media sosial (medsos). Seorang sumber mengatakan rumor pemecatan Esper sudah muncul sejak lama, terutama jika Trump kembali terpilih menjadi presiden.
Dalam sepucuk surat yang ditujukan kepada Kemenhan, Esper menerima pemecatan itu dengan lapang dada dan mendoakan Kemenhan agar dapat meraih capaian yang lebih baik. Esper juga memuji tentara AS yang mengabdi untuk negara dan rakyat serta tidak terpengaruh kisruh politik dalam negeri.
Profesor Politik Princeton University Paul Frymer mengatakan cara pemecatan yang dilakukan Trump via Twitter merupakan budaya buruk kepemimpinan Trump. Dia memperingatkan pejabat lain yang berseberangan dengan Trump untuk berhati-hati dan kemungkinan akan bernasib sama.
Direktur Institut Penyakit Menular dan Alergi Nasional Anthony Fauci juga terancam dipecat karena sering berselisih dengan Trump terkait upaya penanggulangan wabah virus korona. Trump dinilai sebagai pemimpin impulsif dan menuntut bawahannya untuk setia terkait berbagai kebijakan.
Trump memiliki hubungan yang sulit dengan Pentagon karena sebagian pejabat tingginya tidak ingin terkesan menjadi alat politik Trump. Pendahulu Esper, Jim Mattis, juga resign pada 2018 setelah berselisih dengan Trump terkait keterlibatan AS dalam berbagai konflik internasional, termasuk Perang Suriah.
“Trump merupakan presiden pertama di sepanjang hidup saya yang tidak berupaya menyatukan masyarakat AS, sebaliknya dia malah memecah belah,” kata Mattis pada Juni lalu, dilansir Reuters. Sama seperti Mattis, Esper juga menentang sikap Trump terhadap NATO dan khawatir aliansi militer AS tercerai berai.Dengan dipecatnya Esper, anggota Partai Demokrat cemas tentang masa depan militer AS pada sisa tahun ini. Para ahli juga menilai penurunan kekuasaan orang-orang “Demokrat” di Pentagon akan menimbulkan kisruh nasional dan mengancam proses transisi. Sebab, pemecatan Esper didasari motif politik.
“Memecat kepala keamanan nasional atas dasar politik di masa transisi merupakan langkah licik untuk memperkeruh situasi dan mengancam keamanan nasional,” kata Smith. Namun, anggota Partai Republik Seth Moulton menilai Esper pantas dipecat karena tidak sejalan dengan program Trump.
Mick Mulroy, mantan Wakil Asisten Menteri Pertahanan, mengatakan Trump terlalu ceroboh. “Stabilitas keamanan nasional diperlukan di masa transisi seperti ini. Kepemimpinan Esper dalam menjaga netralitas militer dalam dunia politik sangat penting. Pergantiannya bukanlah langkah bijak,” katanya.
Sebulan menjelang pemilihan presiden (Pilpres), beberapa anggota Partai Demokrat mengaku prihatin Trump akan mempermainkan militer AS, baik di luar maupun dalam negeri, untuk meraih dukungan. Mereka menuduh Trump juga mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan politik, termasuk ditariknya pasukan AS dari Afghanistan
Penyelidikan pelanggaran pemilu presiden umumnya merupakan wewenang negara bagian. Namun, Jaksa Agung William Bar mengatakan bahwa perintah kepada jaksa federal bukan perintah yang cepat dan mengharuskan.
Sementara itu, seorang pejabat senior di Departemen Kehakiman AS langsung mengundurkan diri setelah membaca memo dari Bar. Perintah Bar tersebut terkait langsung dengan penolakan pengakuan Presiden Donald Trump untuk mengakui kekalahan pada pemilu presiden dengan dalih adanya kecurangan pemilu.
Bar mengatakan, jaksa penyidik seharusnya melihat tuduhan substansial pelanggaran dan spekulasi yang mencurigakan. Jika sekadar klaim, Bar mengungkapkan seharusnya itu diabaikan.
“Negara bagian memang memiliki tugas utama untuk menggelar pemilu, tapi departemen kehakiman memiliki kewajiban menjamin pemilu federal dilaksanakan dengan baik sehingga rakyat AS bisa percaya diri sepenuhnya terhadap proses elektoral dan pemerintahan mereka,” kata Bar.
Richard Pilger, pejabat senior Departemen Kehakiman, memilih mundur setelah membaca perintah Bar. “Dengan adanya kebijakan baru, dengan penuh kecewa, saya mengundurkan diri,” ujarnya pada e-mail kepada koleganya.
Tim kampanye Trump berusaha tidak mau mengakui kekalahan dengan mengajukan gugatan di negara bagian Pennsylvania untuk mencegah kemenangan Biden. Biden diproyeksikan menang di sana sehingga perolehan suara elektoral lebih dari 270 suara.