Protes Raja Tak Berhenti, Thailand Larang Demonstrasi
BANGKOK – Pemerintah Thailand mengeluarkan dekrit darurat yang melarang demonstrasi dan publikasi berita yang sensitif. Langkah itu bertujuan menghentikan gerakan antimonarki dan menuntut pembatasan kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn yang meluas di kalangan generasi muda di Negeri Gajah Putih itu.
Dekrit itu juga bertujuan menghalangi merebaknya gerakan pemuda yang meminta pengunduran diri Perdana Menteri (PM) Prayuth Chan’ocha, mantan pemimpin junta militer. Dekrit itu juga dianggap sebagai bentuk ketakutan pemerintahan dan Kerajaan Thailand terhadap gerakan generasi milenial yang mulai peduli dengan nasib demokrasi di negara tersebut.
Selang hanya 30 menit setelah dekrit darurat diumumkan pada pukul 04.00 pagi kemarin, polisi antihuru-hara langsung membubarkan kemah milik ribuan anak muda yang berada di luar kantor PM Prayuth. Polisi menangkap lebih dari 20 anak muda yang menolak bekerja sama, termasuk dua pemimpin demonstrasi yang vokal mengkritik kerajaan.
Dekrit itu juga melarang perkumpulan lebih dari lima orang. Itu juga mengatur gangguan terhadap konvoi rombongan kerajaan sebagai gangguan terhadap keamanan, merusak ekonomi, dan berisiko menyebarkan virus korona. “Saat ini sangat penting untuk memberlakukan langkah untuk mengakhiri situasi ini dengan efektif dan menegakkan perdamaian dan tatanan,” demikian bunyi dekrit dilansir Reuters.
Demonstrasi terakhir dihadiri ribuan anak muda pada Rabu (14/10) lalu. Mereka berpawai dari Gedung Pemerintah dan berjanji bertahan hingga Prayuth mengundurkan diri. Sebagian orang mulai meninggalkan lokasi demonstrasi semalam. Hanya sebagian kecil pengunjuk rasa mencoba bertahan melawan polisi.
“Kita belum bisa memulihkan demokrasi sejati saat ini,” kata Sun Pathong, aktivis veteran yang dikenal dengan gerakan antikemapanan dan menentang aksi kudeta Prayuth pada 2014. “Saya akan kembali. Kita akan melanjutkan perlawanan meskipun kita berisiko mengorbankan nyawa,” ujarnya.
Pemimpin mahasiswa Panusaya “Rung” Sithijirawattanakul mengatakan, para demonstran akan melanjutkan aksi demonstrasi. Ajakan demonstrasi itu juga disebarkan melalui media sosial. Namun, beberapa media melaporkan Panusaya kemarin ditangkap polisi di mana beredar foto yang menunjukkan dia ditangkap dengan menggunakan kursi roda dan melambaikan salam tiga sebagai simbol kampanye prodemokrasi. Polisi berkomentar mengenai penangkapan Panusaya. Namun, mereka mengonfirmasi penangkapan pemimpin demonstrasi Parit “Penguin” Chirawat dan pengacara hak asasi manusia Arnon Nampa. Juru bicara kepolisian Thailand, Kissana Phathanacharoen, mengatakan, rencana aksi demonstrasi para anak muda tetap dilarang dengan adanya dekrit terbaru.
Dekrit terbaru juga melarang publikasi berita dan informasi online yang bisa menciptakan ketakutan atau berdampak pada keamanan nasional. Dekrit juga melarang informasi elektronik yang berisi pesan yang dapat menimbulkan ketakutan atau sengaja memutarbalikkan informasi sehingga menimbulkan kesalahpahaman yang akan memengaruhi keamanan atau perdamaian nasional dan ketertiban.
Hal yang itu juga memungkinkan pihak berwenang untuk menghentikan orang-orang memasuki “daerah mana pun yang mereka tunjuk”. Dekrit juga bisa menjadi dasar bagi aparat kepolisian menangkap orang yang dianggap merugikan keamanan.
Gerakan protes yang dipimpin oleh mahasiswa, yang dimulai pada Juli dan terus berkembang, telah menjadi tantangan terbesar dalam beberapa tahun terakhir bagi penguasa Thailand. Serangkaian protes selama akhir pekan di ibu kota adalah beberapa yang terbesar dalam beberapa tahun, dengan ribuan menentang pihak berwenang untuk berkumpul dan menuntut perubahan.
Seruan para pengunjuk rasa untuk reformasi kerajaan sangat sensitif di Thailand, di mana kritik terhadap monarki dapat dihukum dengan hukuman penjara yang lama. Thailand memiliki sejarah panjang soal kerusuhan politik dan protes, tetapi sebuah gelombang baru dimulai pada Februari setelah pengadilan memerintahkan partai oposisi prodemokrasi yang masih baru terbentuk untuk dibubarkan.
Protes dihidupkan kembali pada bulan Juni ketika aktivis prodemokrasi terkemuka Wanchalearm Satsaksit hilang di Kamboja, tempat dia berada di pengasingan sejak kudeta militer 2014. Keberadaannya tetap tidak diketahui dan pengunjuk rasa menuduh pemerintah Thailand mengatur penculikannya.
“Saya kira kami sudah mencapai titik frustasi. Banyak sekali masalah yang muncul sejak kudeta pada 2014, mulai dari kesemrawutan manajemen, penyelewengan hukum, dan ketidakadilan sosial,” kata Jutatip Sirikhan, presiden Student Union of Thailand. “Kami tak melihat lagi masa depan di negeri ini,” tambahnya.
Namun demikian, kelompok pendukung raja juga menggelar demonstrasi tandingan untuk menunjukkan dukungan kepada monarki. Mengenakan baju kuning, warna yang digunakan kerajaan, mereka melakukan unjuk rasa di kawasan yang sama dengan kelompok prodemokrasi walau berada di titik berbeda.
Beberapa pemrotes berbaju kuning terekam menyerang pengunjuk rasa prodemokrasi. Menurut sejumlah saksi mata, pemerintah menyamarkan polisi sebagai pengunjuk rasa pendukung raja.