Cerita Sejarah Pilkada, Mahfud MD: Era Reformasi DPRD Pilih Kepala Daerah dengan Uang
JAKARTA – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menceritakan sejarah pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Hingar bingar pilkada baru dirasakan masyarakat luas setelah reformasi.
Dia menerangkan pilkada itu sudah terjadi sejak tahun 1945. Namun, masyarakat selalu mencatat bahwa pilkada di Indonesia baru berlangsung sejak tahun 2005 atau 15 tahun. Hal itu karena masyarakat baru merasakan pemilihan secara langsung.
Pada zaman Orde Baru, pilkada dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Payung hukumnya, Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengungkapkan pernah ada satu masa, pilkada diatur melalui UU masing-masing daerah, seperti Kediri, Klaten, dan Yogyakarta. Pemerintahan Orde Lama pun sempat mewacanakan pilkada melalui UU Nomor 1 Tahun 1957.
“(UU) itu memisahkan kepala daerah dan wilayah. Kepala daerah adalah pengemban otonomi daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebelum diimplementasikan, masih dalam persiapan ada pergantian rezim. Orde Lama jatuh,” ujarnya dalam Konferensi Nasional Ilmu Sosial dan Politik, Rabu (14/10/2020).
Di era Orde Baru, pilkada dilakukan melalui DPRD. Mahfud menjelaskan kunci memenangkan pilkada itu ada pada ABRI, Birokrasi, dan Golkar atau beken dengan istilah ABG.
“Penentunya itu saja. Kalau tidak setuju, tidak akan jadi. Meskipun formalitas lewat DPRD. Itu bagian dari sistem politik dan ambruk saat reformasi 1998,” katanya.
Setelah reformasi, lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Inilah era otonomi daerah. DPRD saat itu menjadi tulang punggung otonomi daerah.
Kewenangannya tetap besar, yakni bisa memilih, evaluasi, dan menjatuhkan kepala daerah di tengah jalan. “Itu dianggap demokratisasi, tapi menjadi bencana politik. Praktiknya, kepala daerah dipilih dengan uang,” pungkasnya.