1,3 Juta Orang Teken Petisi Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
JAKARTA – Lebih dari 1,3 juta pengguna internet menandatangani petisi online menolak Omnibus Law Rancangan Undang-Undanga (RUU) Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR, Senin 5 Oktober 2020.
Petisi online ini di bertajuk “Maklumat Pemuka Indonesia: Tolak Omnibus Law dan Buka Ruang Partisipasi Publik” ini disuarakan pada Minggu 5 Oktober lalu di situs change.org.
Petisi tersebut digagas oleh Prof Busryo Muqodas, Pdt DR Merry Kolimon, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho, Pdt Penrad Sagian
Dalam petisi tersebut, penggagas menyatakan seperti yang sudah diketahui, RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Sebagai Rancangan Undang-Undang yang dibentuk dengan metode Omnibus Law, RUU Cipta Kerja memuat banyak klaster dan sub-klaster isu pembahasan, yang di dalamnya total ada lebih dari 81 undang-undang serta seribu lebih pasal di seluruh undang-undang tersebut yang diubah.
Penggagas menyampaikan sejumlah persoalan dalam RUU Ciptaker, antara lain pertama, spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian.
“Ketentuan ini justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara,” tulis penggagas petisi
Kedua, pemangkasan hak-hak buruh/pekerja. Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan.
Selain itu, kata mereka, status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu.Ketiga, potensi konflik agraria dan SDA/lingkungan hidup. Selama lima tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya.
Misalnya perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan.
Keempat, pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan.
Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya.
Kelima, kekuasaan birokratis yang terpusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca 1998. RUU Cipta Kerja akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.
“Kami selaku para pemuka agama menyadari bahwa ruh kehadiran agama dan kepercayaan bagi dunia adalah berdiri bagi kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam-lingkungan, karena itulah sejatinya fitrah panggilan bagi agama dan kepercayaan hadir ke tengah-tengah dunia,” tulis penggagas petisi.
Penggagas petisi meminta DPR untuk membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis. “Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini, untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan,” tulis penggagas.
Dukungan terhadap petisi ini terus mengalir. Hingga pukul 13.10 WIB, sudah sebanyak 1.331.855 orang yang ikut menandatangani petisi ini.