Revisi PKPU Pilkada Harus Lihat Masalah Pandemi Secara Komprehensif
JAKARTA – Kesepakatan Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan penyelenggara pemilu untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020 secara serentak di 270 daerah pada 9 Desember mendatang terus mendapatkan kritikan. Legal Culture Institute sendiri menilai bahwa kesepakatan tersebut bukti ketidakprihatinan dan kelalaian eksekutif dan legislatif terhadap nyawa masyarakat dan kontraproduktif dengan data Satgas Covid-19.
“Per 22 september 2020 saja sudah terbukti betapa ganasnya Covid-19 merenggut 160 nyawa dalam hitungan 24 jam dengan mencatatkan jumlah kematian 9.837 orang se-indonesia. Dimana fatality rate-nya termasuk yang paling tinggi se-Asia,” kata Direktur Legal Culture Institute M. Rizqi Azmi dalam keterangannya, Kamis (24/9/2020).
Rizqi menilai, rekomendasi raker terkait perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 10/2020 tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-Alam sangat absurd dan terlihat peserta rapat tidak memahami isi regulasi tersebut. PKPU itu sudah mengatur yang direkomendasikan seperti kampanye daring, protokol kesehatan dengan jarak 1 meter, pemakaian masker, hand sanitizer, e-rekap dan tata cara pemungutan.
“Sehingga raker tersebut hanya bersifat formalitas dan lip service semata kemudian secara halus memaksakan keinginan untuk tetap pilkada 9 Desember tanpa data akurat,” imbuhnya.
Rizqi berpandangan, PKPU 10/2020 memang sangat tidak ideal dan perlu direvisi. Seperti misalnya, ketentuan debat publik yang diperbolehkan maksimal 50 orang yang sebelumnya pada pasal 59 huruf c dinyatakan tidak boleh ada undangan dan kampanye rapat umum dihadiri maksimal 100 orang. Dan mengembalikan pasal 64 ayat 2 huruf c PKPU No 6 tahun 2020 yang menyatakan rapat umum diadakan di wilayah setempat yang telah dinyatakan bebas Covid-19 oleh Satgas covid-19.
“Poin penting yang di hapus dalam PKPU No 10 tahun 2020 sehingga potensi bahaya di saat pilkada tidak dapat terdeteksi dan rentan timbulnya covid 19 dalam klaster pilkada,” terang Rizqi.
Karena itu, kata Rizqi, revisi PKPU 10/2020 harus betul- betul melihat permasalahan pandemi ini secara komprehensif dan kontekstual dalam melindungi hak hidup masyarakat sesuai konstitusi pasal 28A UUD 1945. Jangan sampai ketentuan lanjutan pelaksanaan pilkada 9 Desember hanya memenuhi tuntutan politik segelintir elite.
“Kemudian harus dibuka ruang analisa apabila beberapa waktu kedepan keadaan semakin memburuk maka tidak ada opsi lain untuk menunda pilkada dan dituangkan apakah dalam bentuk Perppu atau PKPU,” usulnya.
Dia mengingatkan pada pemerintah bahwa di masa pandemi ini, ilmu epidemologi menjadi tolak ukur keberhasilan seluruh bidang termasuk politik dan ekonomi. Sehingga, seyogyanya Presiden memprioritaskan regulasi kesehatan sebagai acuan dalam membuat regulasi Pilkada. Legal Culture Institute menganalisa, penundaan Pilkada bukan hanya menyelamatkan nyawa manusia tapi juga bisa menyelamatkan demokrasi dari korupsi politik.
Selain menghindari bantuan sosial (bansos) menjadi bancakan saat Pilkada, sambung Rizqi, penundaan pilkada dapat membantu daerah dalam mengadaptasi penyelarasan anggaran terkhusus menyelesaikan soal pendataan bansos dan penyalurannya. Karena, sampai September ini dana yang dikucurkan pemerintah pusat masih banyak bertengger di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dan belum tersalurkan dengan baik.
“Saat ini hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Sehingga opsi penundaan pilkada jangan dianggap sebagai langkah politis saling jegal satu sama lainnya. Di beberapa negara seperti Polandia, India, Kanada, Siprus dan AS menunda suksesi kepemimpinan baik tingkat pusat atau daerah dikarenakan ingin mendapatkan hasil yang maksimal,” tegasnya.
“Pertanyaannya, kenapa di Indonesia yang bercorak demokrasi tidak meniru langkah-langkah negara lain yang sama-sama berjuang menghadapi pandemi ini. Bukankah pemilihan 3000 kades distop? Kenapa pilkada yang melingkupi seluruh desa tidak ditunda? Sebenarnya apa yang dicari dalam pilkada? Kemenangan atau kematian hati nurani?,” tukas Rizqi.