Nekad Kumpulkan Massa saat Pilkada, Bawaslu Akan Bubarkan Paksa
JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyatakan tidak akan menunda pilkada. Maka, perlu kerja disiplin untuk menegakkan protokol kesehatan Covid-19.
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pun sudah memiliki beberapa rencana untuk mencegah kerumunan massa pada tahapan pilkada serentak di 270 daerah. Arak-arakan, kerumunan massa, dan konser saat pendaftaran bakal pasangan calon (bapaslon) menunjukkan banyak pelanggaran.
Anggota Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan, pihaknya akan mengikuti pola pembubaran massa seperti unjuk rasa. Pengumpulan massa tidak langsung terjadi di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), lapangan, atau tempat rapat umum di ruang tertutup.
Massa pendukung paslon biasanya akan berkumpul dalam jumlah kecil di beberapa titik. Setelah itu, mereka akan bergerak ke tempat pertemuan, entah untuk mengikuti tahapan penetapan paslon, pengundian nomor urut, maupun kampanye.
Rahmat Bagja menerangkan, saat massa itu mulai berkumpul di titik-titik tertentu, pihaknya akan meminta Satpol PP dan kepolisian untuk membubarkan. Pengumpulan massa tanpa protokol kesehatan dikhawatirkan akan menjadi titik baru penyebaran virus Sars Cov-II.
Paslon, partai politik (parpol), dan masyarakat harus sadar bahwa pilkada kali ini dilaksanakan dalam keadaan yang tidak normal. Pagebluk Covid-19 masih mengintai yang bisa membuat banyak orang jatuh sakit bahkan meninggal dunia.
“Kami berencana mengumpulkan teman-teman dewan pengurus pusat partai. Kenapa? Yang paling berkontribusi adalah parpol. Kami menggugah keseriusan untuk menegakkan protokol kesehatan Covid-19 dalam pilkada,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Perlindungan Hak atas Kesehatan dalam Tahapan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19”, Kamis (17/9/2020).
Bawaslu memiliki catatan bagi calon pertahana yang biasanya menjabat Ketua Satgas Penanganan Covid-19. Yang bersangkutan tentu bisa menggerakkan Satpol PP untuk mengawasi dan menindak pelanggar. “Agak luput teman-teman Satpol PP untuk menegakkan protokol Covid-19,” ungkapnya.
Dengan banyak pelanggaran protokol kesehatan, muncul desakan diskualifikasi paslon. Namun, menurut Rahmat Bagja, hal itu tidak bisa dilakukan. “Diskualifikasi terkait pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), serta mahar politik, dan tindak pidana lain,” ujarnya.