Kasus Covid-19 Meningkat, Israel Terapkan Lockdown
JERUSALEM – Demi mengantisipasi skenario terburuk akibat gelombang kedua virus corona (Covid-19), berbagai negara di dunia kembali memberlakukan lockdown dan memperketat protokol kesehatan, baik dalam skala daerah maupun nasional. Tarik ulur ini membuktikan implementasi upaya penanggulangan Covid-19 tidak maksimal dan efektif.
Israel yang mendeklarasikan diri terbebas dari Covid-19 juga kembali memberlakukan lockdown selama tiga pekan ke depan, setelah terjadi peningkatan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir. Seluruh aktivitas masyarakat, mulai ritual keagamaan hingga bisnis di tempat umum akan diawasi dan dibatasi secara ketat. , kecuali ke tempat kerja. Sekolah dan pusat perbelanjaan juga ditutup. Adapun apotek dan ritel diwajibkan buka.
“Saya tahu peraturan ini akan memberatkan kami semua dan harus dibayar mahal,” ujar Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, dikutip Reuters. “Ini bukanlah liburan yang biasa kami lalui. Dan kami sudah pasti tidak akan dapat merayakannya bersama keluarga,” sambungnya. Netanyahu juga berjanji menyiapkan paket bantuan.
Kementerian Keuangan Israel menyatakan, kebijakan lockdown akan menyebabkan ekonomi kian merosot dengan kerugian nasional ditaksir mencapai USD1,88 miliar. Sebelumnya, Israel sudah mengalami resesi setelah memberlakukan lockdown pada April. Lockdown pertama dicabut setelah kasus harian menurun cukup signifikan dan melambat.
Namun setelah kembali dibuka, kasus harian melonjak lagi, bahkan sempat terdapat 2.715 pasien baru hanya dalam 24 jam. Sejak Covid-19 mewabah di Israel, sebanyak 1.108 orang tewas akibat komplikasi penyakit. Israel pun kembali menjadi zona merah. Namun, Netanyahu menolak memberlakukan lockdown sebelum akhirnya diprotes warga.
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Hezi Levy mengatakan, penduduk Israel sedang terancam dan telah berjalan di lingkaran kematian. Karena itu, pemerintah sudah seharusnya menerapkan protokol kesehatan yang ketat demi keamanan dan keselamatan bersama. Dia berharap krisis kesehatan ini akan segera pergi dan tidak kembali.Sama seperti Israel, Inggris juga kembali menimbang memberlakukan lockdown dan protokol kesehatan yang sangat ketat untuk memutus rantai Covid-19 setelah diperlonggar sejak Mei. Berdasarkan peraturan terbaru, masyarakat dilarang berkumpul lebih dari enam orang di tempat umum. PM Boris Johnson mengakui peraturan ini rumit.
Kepala Kantor Kesehatan Inggris Profesor Chris Whitty mengatakan, jumlah kasus Covid-19 di Inggris telah meningkat lebih cepat pada pekan ini, terutama di kalangan orang dengan usia produktif, tapi tetap sama di kalangan anak-anak dan orang lanjut usia. Menurut Whitty, tanpa adanya aksi nyata, Inggris akan bernasib sama seperti Prancis.
Pemerintah Belgia juga memberlakukan peraturan lebih ketat, bahkan jauh lebih awal. Belgia banyak dipuji ahli kesehatan di Inggris karena berhasil mengendalikan wabah Covid-19 dengan antisipatif, cepat, dan efektif. Saat ini, beberapa wilayah di Belgia sebenarnya masih belum sepenuhnya aman, tapi tampak jauh lebih kondusif.
Warga Inggris kini juga dilarang berkumpul lebih dari enam orang, baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Mereka yang terbukti melanggar peraturan pembatasan sosial akan langsung dikenai denda senilai 100 poundsterling. Denda itu akan naik hingga 3.200 poundsterling jika pelaku kembali melakukan pelanggaran untuk kedua kalinya.
Sejauh ini, pemerintah Inggris berharap tidak perlu sampai kembali memberlakukan lockdown. Namun, pemerintah Inggris siap meningkatkan protokol kesehatan sesuai dengan perkembangan di lapangan dan berharap masyarakat mematuhinya. Seperti dilansir The Telegraph, pemerintah Inggris kemungkinan akan memberlakukan jam malam.
Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock juga mengatakan, pemerintah berupaya menghindari perubahan drastis dengan berharap masyarakat mematuhi protokol kesehatan