Perdamaian Israel-Bahrain Tak Bantu Palestina
JERUSALEM – Langkah pembukaan diplomasi antara Bahrain dan Israel mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA) tidak akan banyak membantu Palestina. Itu hanya akan menguntungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump saja serta koalisinya, Israel.
Pemerintah Palestina pun marah besar dengan kesepakatan Bahrain dan Israel tersebut. Kementerian Luar Negeri Palestina menarik duta besarnya di Bahrain untuk berkonsultasi. Pernyataan resmi dari kepemimpinan Palestina berbicara tentang “kerugian besar yang ditimbulkan terhadap hak-hak nasional yang asasi dari rakyat Palestina dan tindakan bersama Arab”.
“Kita sangat kecewa,” kata Sari Nusseibeh, mantan pejabat Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). “Saya tidak berpikir mereka lebih kecewa dibandingkan masa lalu dunia Arab secara umum. Palestina selalu mengeluh dunia Arab tidak berdiri di belakang mereka, padahal mereka seharusnya melakukannya,” tuturnya.
Hamas, kelompok pejuang Islam yang menguasai Gaza, mengatakan langkah itu merupakan kerugian besar bagi perjuangan Palestina. Warga Palestina berdemonstrasi di Jalur Gaza. Mereka membakar foto Presiden AS Donald Trump, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, Raja Bahrain Raja Hamad bin Isa Al Khalifa, dan Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed al-Nayhan.
“Kita berjuang melawan virus normalisasi dan memblokade segala langkah sebelum upaya (diplomasi Bahrain-Israel) sukses untuk mencegahnya semakin melebar,” kata pejabat Hamas, Maher al-Holy, dilansir Reuters.
Sekjen PLO Saeb Erekat mengungkapkan, tekanan diplomatik itu tidak akan mencapai perdamaian jika konflik Israel-Palestina tidak terselesaikan lebih dahulu. “Kesepakatan Bahrain, Israel, dan AS untuk menormalisasi hubungan bagian dari paket di kawasan, tapi itu bukan tentang perdamaian. Itu hanya hubungan antar negara. Kita menyaksikan aliansi, aliansi militer yang diciptakan di kawasan,” katanya.
Padahal Palestina telah lama mengandalkan tanggapan Arab yang bersatu dalam perkara penarikan Israel dari wilayah pendudukan dan penerimaan negara Palestina. Faktanya, Palestina memang tidak menjadi isu sentral di Timur Tengah saat ini sejak diguncang Arab Spring beberapa waktu lalu dan Perang Suriah. Saat bersamaan, ketegangan Arab Saudi yang didukung AS dan Iran didukung Rusia memicu ketegangan terus menerus.
“Ada banyak permasalahan di dunia Arab mulai dari ketegangan, revolusi, perang sipil, ketegangan di antara negara-negara Arab sendiri,” kata analis Palestina, Ghassan Khatib. “Palestina kini harus membayar mahal atas perpecahan dunia Arab,” ujarnya.Palestina menginginkan dunia Arab satu suara untuk solusi menjadikan Palestina sebagai negara berdaulat dan menemukan solusi bagi jutaan pengungsi Palestina serta keturunannya. “Kita berharap negara Arab tetap pada konsensus tersebut,” kata Jibril Rajoub, pejabat senior Palestina. Ketika dunia Arab melanggar konsensus itu, maka mereka akan diisolasi dalam jangka waktu yang panjang.
Adalah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang sangat berambisi mewujudkan ambisi untuk membuat perdamaian Israel dengan negara-negara Arab. Dengan mengajak Bahrain menormalkan hubungan dengan Israel, maka itu dianggap sebagai prestasi menjelang pemilu presiden pada November mendatang. Itu terjadi setelah Uni Emirat Arab (UEA) juga menyepakati normalisasi diplomasi dengan Israel dengan dalih perdamaian di Palestina.
“Negara Arab kedua yang berdamai dengan Israel dalam 30 hari,” ujar Trump.
Selama puluhan tahun, sebagian besar negara Arab memboikot Israel dan bersikeras bahwa mereka hanya akan menjalin hubungan setelah perselisihan dengan Palestina diselesaikan. “Satu lagi terobosan bersejarah!” Trump menulis di Twitter. “Dua kawan baik kami Israel dan Kerajaan Bahrain menyepakati Perjanjian Damai,” katanya.
Trump juga mengunggah salinan pernyataan bersama antara ketiga pemimpin negara—Trump, Netanyahu, dan Raja Bahrain Hamad bin Isa bin Salman al-Khalifa. “Inilah terobosan bersejarah untuk perdamaian lebih lanjut di Timur Tengah,” yang akan “meningkatkan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran di kawasan”, demikian bunyi pernyataan itu. Trump akan memimpin upacara penandatanganan resmi perjanjian Israel-UEA di Gedung Putih, Selasa depan.
Presiden Trump membantu menengahi kedua kesepakatan tersebut. Sebelumnya, pada Januari lalu, ia mempresentasikan rencananya untuk menciptakan perdamaian di Timur Tengah yang bertujuan menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Bahrain adalah negara Arab keempat di Timur Tengah setelah UEA, Mesir, dan Yordania yang mengakui negara Israel sejak pendiriannya pada 1948. Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengaku senang bahwa satu lagi perjanjian damai telah dicapai dengan negara Arab.
“Ini adalah era baru perdamaian. Perdamaian untuk perdamaian. Ekonomi untuk ekonomi. Kami telah mengusahakan perdamaian selama bertahun-tahun dan sekarang perdamaian akan membuahkan usaha kami,” kata Netanyahu.
UEA menyambut baik langkah ini. Kementerian luar negerinya mengatakan normalisasi hubungan Israel dengan Bahrain adalah “pencapaian penting dan bersejarah yang akan memberikan kontribusi besar bagi stabilitas dan kemakmuran kawasan”.
Banyak yang menanti seperti apa tanggapan Arab Saudi. Belum ada indikasi bahwa kerajaan siap mengikuti langkah Bahrain dan UEA. Sebelum pengumuman perjanjian UEA-Israel pada Agustus, yang termasuk penangguhan rencana kontroversial Israel untuk mencaplok bagian Tepi Barat yang mereka kuasai, Israel tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara-negara di Teluk Arab.