Gelar Pemilu Parlemen, Singapura Ingin Keragaman
SINGAPURA – Partai berkuasa Singapura, Partai Aksi Rakyat (PAP), mendapatkan hasil pemilu terburuk pada pemilu parlemen pada Jumat lalu. Partai oposisi Singapura semakin mencengkeram parlemen. Itu bisa memicu penundaan rencana sukses dan perubahan kebijakan yang berdampak bagi pusat bisnis internasional tersebut.
PAP yang berkuasa sejak 1965 memenangkan 83 dari 93 kursi parlemen serta memenangkan 61,2% atau turun dari 70% pada pemilu 2015. Partai oposisi Partai Pekerja mengamankan 10 kursi. Itu merupakan perolehan terbaik. Pemilu parlemen tersebut menjadi referendum bagi pemerintahan saat ini dalam mengelola wabah corona.
Singapura juga merupakan negara yang menggelar pemilu di tengah pandemi. Aturan ketat dilaksanakan selama pagelaran pesta demokrasi, seperti mengenakan masker dan sarung tangan. Pasalnya, Singapura merupakan salah satu negara paling buruk dilanda virus korona yang mencapai 45.000 kasus.
Penanganan Singapura awalnya dinilai sukses dalam mengatasi krisis korona. Tapi, Singapura justru ternyata takluk dengan korona karena gagal mengatasi wabah tersebut yang meluas di asrama para pekerja migran asal Asia Selatan. Data Kementerian Kesehatan Singapura menyebutkan 90% kasus korona berasal dari para pekerja tersebut.
Para pengamat memprediksi jumlah infeksi virus korona di Singapura juga akan terus meningkat setelah pemilu. Catatan The Economist Intelligence Unit menyatakan, peningkatan kasus virus korona akan meningkatkan sentimen negatif terhadap pemerintahan yang berkuasa. Apalagi popularitas pemerintahan juga terus menunjukkan penurunan karena dinilai gagal dalam mengatasi pandemi ini.
Bukan hanya Singapura yang berani menggelar pemilu saat pandemi, Korea Selatan juga sukses menggelar pemilu pada April lalu, demikian juga Serbia. Kedua negara itu memberikan kesempatan pada pemerintahan petahana untuk kembali berkuasa. Singapura pun demikian. Perdana Menteri (PM) Lee Hsien Loong kembali berkuasa untuk satu periode.
Putra pendiri Singapura Lee Kuan Yew itu telah berkuasa sejak 2004 lalu. Satu periode mendatang merupakan masa terakhir PM Lee akan berkuasa. Dengan dua pertiga kekuasaan di parlemen memberikan wewenang besar baginya meloloskan undang-undang, meski popularitas PM Lee dan PAP pun semakin tenggelam.
Tantangan terbesar Singapura lainnya adalah krisis ekonomi akibat virus korona dan terkena dampak perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China. Singapura diprediksi akan menghadapi resesi ekonomi terburuk sejak kemerdekaan pada 1965. Pertumbuhan ekonomi Singapura turun hingga 4-7%.
Ketidakmampuan Pemerintah Singapura meningkatkan pertumbuhan dan mengatasi krisis, menyebabkan rakyat Singapura berpikir berulang memberikan suara pada partai berkuasa. Sebagian masyarakat mulai memiliki perbedaan pandangan. Ketika diibarat PAP saat ini menghadapi berbagai badai belum mereda.
Dalam pandangan pakar dari Universitas Manajemen Singapura, Eugene Tan, pemerintahan saat ini lebih mengutamakan “flight to safety” dalam menghadapi krisis. “Saya berpikir sebagian rakyat Singapura akan mengambil pandangan berbeda,” katanya dilansir CBS News. Analisis itu memang menjadi kenyataan saat ini ketika partai oposisi Singapura justru menguat.
PM Lee juga mengakui penurunan suara partai berkuasa. “Hasil itu menunjukkan keinginan jelas untuk keragaman suara,” katanya pada konferensi pers kemarin. Dia mengungkapkan, rakyat Singapura menginginkan PAP ingin membentuk pemerintahan, tetapi para pemilih muda menginginkan kehadiran oposisi di parlemen.
Stabilitas bisa diprediksi dengan mudah merupakan hal melekat pada perpolitikan Singapura. PAP telah mendominasi sejak 1965. Itu juga mendukung negara kota tersebut sukses menjadi pusat keuangan dan perdagangan dunia.
Analis memperkirakan, kemunduran yang tidak diperkirakan PAP itu seperti akan menyebabkan perubahan kebijakan. Pemerintah sepertinya akan memperketat aturan perekrutan tenaga kerja asing dan kebijakan sosial yang selama ini diperjuangkan partai oposisi. “Pembuat kebijakan akan memperketat jalan bagi pekerja asing di sektor buruh dan meningkatkan dua kali lipat anggaran sosial bagi kelompok berpendapatan rendah,” kata Song Sen Wun, ekonomi di CIMB Private Banking, dilansir Reuters.
Pada 2011 lalu, ketika PAP meraih suara populer hanya 60%, mereka langsung memperketat aturan perekrutan pekerja asing karena anak muda Singapura memang sangat sensitif terhadap hal itu. Generasi milenial juga sangat khawatir akan kehilangan prospek pekerjaan dan pendapatan karena banyaknya orang asing yang mendapatkan gaji tinggi.
Suksesi Dipercepat
Pemilu parlemen itu juga dibayangi rencana PM Lee untuk mengakhiri kekuasaan setelah satu periode pemerintahannya selesai. Namun, banyak analis memandang rencana sukses seperti akan dipercepat ketika melihat arah hasil pemilu parlemen tersebut.
Calon pengganti PM Lee, Depurti PM Heng Swee Keat, juga disorot karena hanya memenangkan 53% suara di konstituensi. Itu merupakan ujian pertama popularitasnya, dan ternyata dia sangat tidak populer.
“Dukungan itu menunjukkan dia tidak mendapatkan dukungan kuat sebagai pemimpin baru,” kata Bridget Welsh, peneliti di Universitas Nottingham Asia. Welsh menyebut, Heng, 59, tidak memiliki kekuatan nasional saat kampanye dan bukan sebagai pemimpin generasi mendatang.