Tahun Ajaran Baru dengan Suasana Baru
JAKARTA – Tahun ajaran baru dimulai pada saat pandemi belum berakhir. Masih banyak sekolah yang kemungkinan menerapkan pembelajaran jarak jauh atau sekolah di rumah.
Siswa yang belajar di rumah tentu merasakan banyak perbedaan. Tidak sedikit dari mereka yang mengalami hambatan mulai dari gawai, kuota hingga sinyal yang digunakan untuk terus terhubung dengan guru.
Untuk kendala teknis ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tengah berjuang untuk memperbaiki infrastruktur teknologi informasi (TI) di beberapa daerah yang termasuk blank spot. Hal itu dilakukan guna membantu anak-anak untuk kembali belajar di rumah.
Lantas bagaimana dengan kurikulum yang biasanya memiliki capaian tertentu? Konon target kurikulum pula yang membuat siswa kewalahan dalam mengerjakan tugas.
Plt Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hamid Muhammad mengaku tengah berjuang memperbaiki sistem pembelajaran jarak jauh mulai dari pengajar hingga kurikulum.
Menurutnya pengalaman tiga bulan terakhir menjalani pendidikan selama masa pandemi membuat mereka merasa perlu membahas upaya terbaik memasuki semester baru. “Kami sudah melakukan pelatihan-pelatihan terkait pembelajaran jarak jauh bukan hanya kepada guru, namun juga pemerintah daerah dan perguruan tinggi,” ungkapnya.
Kurikulum selama pandemi juga akhirnya ditentukan oleh Kemendikbud setelah sebelumnya hanya diserahkan kepada sekolah dan guru. Pemerintah meminta sekolah untuk mengidentifikasi materi esensial dari kompetensi dasar pada kurikulum. Nyatanya hanya 20% guru yang melakukan arahan ini.
Maka untuk tahun ajaran baru yang dimulai pada 13 Juli, Kemendikbud melalui Pusat Kurikulum menyiapkan kompetensi dasar (KD) yang tidak berat bagi guru untuk melaksanakan pengajaran. Misalnya untuk kelas 3 SD terdapat 26 KD, setelah dipilih yang paling esensial menjadi hanya 16 KD.
“Selain itu kami menyiapkan modul pembelajaran yang dapat dipakai oleh siswa secara mandiri. Memang tidak sama dengan buku pelajaran, tapi ini lebih ringkas sepanjang anak sudah bisa membaca,” papar Hamid.
Selain modul, media untuk para siswa belajar mandiri adalah melalui video yang disiapkan untuk pelajaran yang membutuhkan praktik secara langsung. Video tersebut dapat langsung diakses di website atau Youtube.
Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian mengatakan, DPR selalu menyampaikan kepada pihak sekolah untuk tidak fokus pada kurikulum. Guru juga diminta tidak memberikan tugas-tugas yang terlalu berat agar tidak menjadi beban mental anak.
“Karena sekarang yang lebih penting anak-anak sehat, selamat, dan bahagia. Tidak malah imunitasnya turun karena banyak tugas. Lebih baik sekarang pembelajaran di rumah dioptimalkan dengan bervariasi semacam soft skill atau life skill,” ungkapnya.
Guru dapat membuat kreativitas sendiri untuk dapat memberikan pengajaran sesuai dengan usia mereka mengenai kehidupan sehari-hari. Misalnya membantu orang tua, menjaga kesehatan selama pandemi, berkebun, berwirausaha.
Hetifah berharap, saat memasuki tahun ajaran baru ini sekolah lebih mencari cara terbaik untuk sistem belajar anak-anak di rumah. Dia menyebut pemanfaatan perpustakaan nasional atau daerah bisa menjadi sarana untuk memaksimalkan itu. Anak lebih didekatkan dengan buku bukan hanya terpacu pada buku pelajaran.
“Pembahasan juga sudah ada di TVRI dan Youtube dari Kemendikbud. Banyak cara lain yang dapat dilakukan oleh guru,” jelasnya.
Psikolog anak Anggia Dharmawan mengatakan bahwa memang agak sulit jika terlalu banyak yang harus dikejar saat pengajaran jarak jauh. Padahal cara belajar anak di rumah tidak seefektif kalau mereka belajar di kelas. “Kalau belajarnya lambat, tapi target capaiannya banyak, kasihan anak ketika ulangan,” ujarnya.
Untuk orang tua jika masih sekolah formal tentu harus mengikuti arahan sekolah. Mereka tidak dapat membuat kurikulum sendiri kecuali memilih homeschooling. Sementara itu guru memang dapat sesuai dengan kurikulum dan hanya diambil beberapa yang penting.
Anggia menjelaskan, tantangan bagi guru saat ini adalah menemukan metode pengajaran yang tepat bagi anak. “Lihat tipe sekolahnya, kalau sekolah negeri ya konvensional. Seperti biasa guru kurang bisa bereksplorasi. Kalau terlalu berlebihan atau tidak seperti biasanya, yang terjadi malah target tidak tercapai. Orang tua dan siswa juga tidak mudah begitu saja mengikuti,” tuturnya.
Kondisi tersebut berbeda dengan sekolah yang sudah jelas kompetensinya. Misalnya sekolah alam tentu dapat menambahkan life skill atau yang lebih kinestetis.
Karena itu psikolog dari Biro Konsultasi Westaria ini mengatakan bahwa kreativitas guru mengajar saat pandemi ini memang harus melihat kondisi.
Satu contoh Indri, guru SD negeri di wilayah Ciseeng, Kabupaten Bogor. Dia sulit mengadakan pembelajaran jarak jauh melalui Zoom atau aplikasi lain. Akhirnya dia menjelaskan materi dalam video yang dikirim melalui internet ataupun bluetooth. Karena tidak semua siswa memiliki gawai, video penjelasannya ini pun dapat ditonton secara bersama-sama.
“Saya ke rumah salah satu anak, kirim melalui bluetooth sehingga tidak perlu menggunakan kuota. Kemudian mereka bisa bersama menonton video dengan teman. Satu HP saya minta hanya 3–4 orang dan jangan sampai berkerumun,” jelasnya.
Kondisi seperti itu yang menuntut guru untuk tidak memaksa anak harus maksimal mengikuti pelajaran, bahkan nilai ujian yang memuaskan. Hal itu yang disadari Indri. Dia mengatakan, selain ujian sekolah yang bentuknya teks, ada juga ulangan harian berbentuk wawancara singkat. “Saya hanya ingin mengetahui apakah mereka paham materi yang saya bagikan melalui cerita mereka,” sebutnya.