Cegah Sebaran Covid-19, PSBB Perlu Diberlakukan Secara Nasional
JAKARTA – Pemerintah perlu menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara nasional dengan benar dan terukur serta perlu meningkatkan kapasitas pelayanan kesehatan agar dapat menekan angka kematian pandemi corona (Covid-19).
Pesan itu disampaikan ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, dalam diskusi daring bertema ”Corona dan Daya Tahan Sosial Politik Indonesia” yang digelar Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Rabu (22/4/2020).
Diskusi ini membahas evaluasi sekaligus apa yang harus dilakukan pemerintah agar dapat meringankan pandemi corona yang sedang menjangkit negeri ini. Sebab, pandemi corona tidak hanya berdampak pada sisi kesehatan dan ekonomi, tapi juga aspek sosial politik.
Pandu mengatakan, kesehatan publik tidak lepas dari politik. Banyak regulasi-regulasi yang membahas soal kesehatan publik. Bahkan banyak negara pula yang menjadikan kesehatan publik sebagai isu politik.
Dalam penelitiannya, Pandu mengungkapkan, perjalanan pandemi ini sangat tergantung pada intensitas intervensi pemerintah. Semakin tinggi intensitas intervensinya, semakin landai grafik perjalanan pandemi sehingga fasilitas kesehatan bisa menampung orang yang terjangkit virus corona.
“Sebaliknya, apabila intensitas intervensinya rendah maka masyarakat yang terjangkit akan lebih banyak dari daya tampung fasilitas kesehatan. Akhirnya, banyak orang yang terinfeksi tidak bisa ditangani dengan baik,” tuturnya.
Intervensi yang dimaksud adalah perlu adanya edukasi publik yang masif dan terus-menerus dengan bahasa yang mudah dipahami. Termasuk dengan memperluas kebijakan PSBB.
Seperti diketahui, persebaran wabah korona terus meluas di berbagai wilayah Indonesia. Saat ini Covid-19 telah menyebar ke 267 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Tanah Air dengan jumlah positif 7.775 orang, sembuh 960 orang dan 647 meninggal dunia.
Kementerian Kesehatan pun telah menyetujui dua provinsi, yakni DKI Jakarta dan Sumatera Barat, untuk melaksanakan PSBB seiring meningkatnya jumlah kasus corona. Adapun jumlah kabupaten/kota yang disetujui menerapkan PSBB sebanyak 21 (lihat infografis).
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan menyebut korona juga menguji relasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam kasus ini, pemerintah daerah sepertinya dibatasi oleh pemerintah pusat, padahal otonomi daerah sudah diatur oleh UU Otonomi Daerah, salah satu amanat reformasi.
Menurut mantan Direktur Jenderal Otda Kemendagri ini, pemerintah pusat harus mempunyai kebijakan yang high strategy dan mampu berkomunikasi dengan kepala daerah yang betul-betul mengetahui tentang kondisi lapangan di daerahnya. Dia berharap pemerintah pusat dapat mendengarkan masukan-masukan dari kepala daerah. “Masih ada peluang dengan kepemimpinan strong leadership,” tuturnya.
Pengamat politik Philips J Vermonte berpandangan berbeda. Indonesia bagi dia memang diharapkan bisa menerapkan kebijakan desentralisasi, namun dalam konteks penanganan bencana, justru harus tersentralisasi. “Harus ada kesatuan pandangan terhadap siapa mengerjakan apa dan kapasitas daerah juga berbeda-beda,” sanggahnya.
Philips menyebut bahwa Covid-19 ini menunjukkan bahwa semua negara rentan, tidak pandang bulu apakah negara tersebut negara miskin, negara kaya, negara maju, atau negara berkembang. Faktor yang membedakan adalah sistem kesehatan publik yang baik dan tata kelola pemerintahan yang baik yang akan membuat suatu negara pulih dengan cepat.
Dari negara-negara yang sudah berhasil menurunkan grafik Covid-19 seperti Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Selandia Baru, dan Jerman, ada kesamaan yang bisa terlihat seperti kepemimpinan yang solid, tata kelola pemerintahan yang baik, visi yang jelas, dan pemerintah yang sangat menghargai data. Terlepas dari itu semua, diperlukan kepatuhan masyarakat dalam menjalani kebijakan yang sudah diberlakukan. “Tidak ada kebijakan yang berhasil tanpa ada kepatuhan dari masyarakat,” katanya.
Sementara itu, profesor peneliti hubungan internasional di Pusat Studi Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dewi Fortuna Anwar, menyebut pandemi korona menyebar sangat cepat karena dampak dari globalisasi. “Urat nadi dari globalisasi adalah transportasi udara dan laut, perdagangan dan perekonomian,” katanya