Tanggung Jawab Menkes bila Penyalah Guna Narkoba Kesulitan Akses Rehabilitasi
MENTERI Kesehatan (Menkes) sebagai menteri yang menangani penyalahgunaan narkotika (pasal 1/22), dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai koordinator Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) mestinya bertanggung jawab kalau penyalah guna kesulitan mendapatkan akses layanan rehabilitasi, dan seharusnya juga mempermasalahkan perintah penahanan dan penjatuhan hukuman penjara bagi perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika.
Negara menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi, berupa penempatan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi selama proses penegakan hukum (Peraturan Pemerintah No 25/2011), dan negara juga menjamin penyalah guna dijatuhi hukuman rehabilitasi (pasal 4d) meskipun penyalah guna diancam dengan hukuman penjara (pasal 127/1).
Jaminan dari negara melalui mekanisme peradilan berada di tangan hakim yang memegang palu keadilan. Untuk dapat menghukum rehabilitasi, hakim yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewajiban oleh UU Narkotika (pasal 127/2) untuk memperhatikan: taraf ketergantungan terdakwanya (pasal 54), dan program penyembuhan penyalahgunanya melalui wajib lapor (pasal 55), serta memperhatikan kewenangan hakim berupa menjatuhkan hukuman rehabilitasi jika terbukti bersalah, dan menetapkan terdakwanya untuk menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah.
Pertanyaan yang muncul dalam praktek pengadilan, bagaimana kalau penyalah guna didakwa oleh jaksa seakan akan sebagai pengedar? Hakim menggunakan pasal 103/1 untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi bila perkaranya terbukti sebagai penyalah guna untuk diri sendiri.
Pertanyaan selanjutnya adalah, tempat menjalani hukuman rehabilitasinya di mana?Tempat menjalani rehabilitasi adalah rumah sakit atau tempat rehabilitasi yang ditunjuk Menteri Kesehatan (pasal 56).
Rehabilitasi sebagai bentuk hukuman, tidak memerlukan pengamanan secara khusus ala lembaga pemasyarakatan (lapas) dengan tembok tingginya dengan penjagaan ketat.
Menteri Kesehatan sudah menunjuk ratusan rumah sakit, puskesmas yang tersebar di kabupaten/kota di seluruh Indonesia sebagai tempat menjalani rehabilitasi atas perintah hakim.
Idealnya, tempat rehabilitasi milik BNN digunakan khusus untuk melaksanakan rehabilitasi atas perintah hakim, namun karena jumlah penyalah guna atau pecandu yang atas perintah hakim sangat sedikit, akhirnya rehabilitasi milik BNN dipakai untuk merehabilitasi penyalah guna secara sukarela dan wajib lapor.
Sepengetahuan saya baru Nunung (1,5 tahun) dan Jefri Nichol (8 bulan), serta Tessy yang tercatat mendapatkan keputusan berupa hukuman rehabilitasi kemudian diperintah hakim untuk menjalani di Rumah Sakit Ketergantungan Obat Cibubur Jaktim.
Kalau Nunung dan Jefri Nichol, serta Tessy dihukum rehabilitasi, kenapa penyalah guna yang lain di penjara? Sesungguhnya tidak ada alasan bagi hakim, untuk tidak menjatuhkan hukuman rehabilitasi bagi terdakwa yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika.
Berdasarkan UU Narkotika, negara membuka akses rehabilitasi:
- Pertama, melalui kewajiban moral orang tua untuk menyembuhkan anaknya yang sakit ketergantungan narkotika layaknya bila ada keluarga sakit. Bagi yang ekonominya kecukupan dapat memilih tempat rehabilitasi baik di dalam maupun luar negeri.
- Kedua, orang tua atau pecandu diwajibkan undang-undang untuk melaporkan ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) untuk mendapatkan perawatan agar sembuh (pasal 55), kalau sengaja tidak melaporkan ke IPWL untuk mendapatkan perawatan diancam dengan enam bulan pidana kurungan.
- Ketiga, kewajiban hakim (127/2) melalui keputusan atau penetapan hakim untuk memerintahkan terdakwanya menjalani rehabilitasi baik terbukti atau tidak terbukti bersalah (103/1) agar sembuh.
Akses rehabilitasi selama ini terkendala karena penyalah guna narkotika disidik, dituntut diposisikan seakan akan sebagai pengedar, dilakukan penahanan selama proses penyidikan dan oleh hakim dijatuhi hukuman rehabilitasi.
Hal tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam UU Narkotika, di mana tujuan penanggulangan terhadap penyalah guna adalah menjamin penyalah guna direhabilitasi (pasal 4d).
Bermakna Ganda
Rehabilitasi punya makna ganda. Rehabilitasi secara medis diartikan sebagai proses kegiatan pengobatan untuk membebaskan penyalah guna dari ketergantungan narkotika (pasal 1/16), juga diartikan sebagai bentuk hukuman khusus bagi penyalah guna narkotika (pasal 103/2).
Rehabilitasi dilakukan di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan (pasal 56), bukan dipenjara.
Faktanya sekarang ini ada sekitar 48.000 penyalah guna dihukum penjara, mendekam di lapas, padahal UU Narkotika secara khusus mengatur penyalah guna wajib menjalani hukuman rehabilitasi, tempatnya di rumah sakit yang telah ditunjuk. Pertanyaannya. Kok bisa terjadi perbedaan antara ketentuan undang-undang dengan praktek penegakan hukumnya?
Pertanyaan tersebut yang memotivasi saya untuk terus berkarya agar penyalah guna dihukum rehabilitasi. Penyalah guna dihukum penjara, menyebabkan penyalah guna jauh dari akses rehabilitasi dan mengakibatkan terjadinya residivisme yang membahayakan ketahanan nasional.
Penyalah guna yang sekarang ini mendekam di lapas ada 48 000 orang, mereka mestinya wajib menjalani rehabilitasi, nyatanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosia (BPJS) Kesehatan juga tidak menjamin mereka untuk sembuhnya padahal sudah membayar iuran BPJS Kesehatan.