Melawan TBC dan HIV, Mencegah Stunting Anak-Anak
SENTANI – Seorang ibu menggendong anak berusia sekitar dua tahun. Mereka memasuki sebuah bangunan dari kayu yang tampak bersih. Kedatangannya langsung disambut seorang pemuda berbaju biru. Si ibu menunjukkan lengan kanan si anak yang tampak luka menganga. Tampak luka selebar kurang lebih 2 cm. Pemuda bernama Kristianto langsung memeriksa dan menduga luka tersebut karena api. “Ini luka bakar, karena masyarakat sini suka tidur di dekat perapian,” kata Kristianto, laki-laki berbaju dan bercelana biru.
Kristianto adalah salah satu perawat yang menjaga klinik Siloam di Daboto, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Kristianto tidak sendiri. Dia bersama perawat lain bernama Denti, seorang gadis muda berasal dari Pulau Nias, Sumatera Utara. Kemampuan keduanya sangat mumpuni untuk mengatasi persoalan kesehatan di daerah pedalaman. Mereka juga dididik untuk proaktif menyerap persoalan kesehatan warga. Memberikan penyuluhan kesehatan sebagai upaya pencegahan juga terus dilakukan oleh keduanya.
Selain luka bakar, persoalan kesehatan di Daboto adalah ISPA. Ini karena mereka hidup di dalam honai (rumah khas Papua) yang tanpa ventilasi. Parahnya lagi, setiap malam mereka harus menyalakan api untuk kehangatan dan asap untuk mengusir nyamuk atau serangga yang lain. Kondisi ini yang menyebabkan masyarakat di Daboto sering terkena ISPA dan luka bakar atau gores. Klinik Siloam di Daboto juga tengah berperang dengan penyakit TBC dan penyebaran HIV. Sehari, mereka bisa menerima hingga 30 pasien dari empat kampung di wilayah Daboto.
“Untuk imunisasi sudah lengkap semua. Saat ini kita tengah menjalankan program penanganan stunting dengan satu minggu sekali memberi menu kacang hijau, sayur, dan telur. Kita juga kasih makan dengan lauk ikan,” jelas Kristianto.
Persoalan kesehatan di Daboto juga terjadi di pedalaman Papua lainnya. Di Mamit (Tolikara), Nalca (Yahukimo), Danowage (Boven Digul), Mokndoma (Puncak Jaya), dan Tumdungbon (Pegunungan Bintang) juga menghadapi persoalan yang sama. Klinik Siloam hadir di beberapa daerah pedalaman tersebut. Masalah ISPA, TBC, HIV, ataupun luka di kulit adalah persoalan yang dihadapi para perawat atau paramedis yang mengabdi di pedalaman Papua. Beberapa daerah di atas harus ditempuh satu hingga dua jam lebih dengan pesawat kecil. Frekuensi pesawat yang hadir pun bisa satu minggu sekali.
Di Tumdungbon, klinik Siloam hadir sejak Januari 2020 lalu. Maryo A Saptamo adalah paramedis yang menjaga. Pada Januari 2020 lalu, dia sudah menangani 114 pasien. Maryo mengatakan bahwa penderita TBC yang ditangani sudah mencapai 23 orang dan 1 penderita HIV. Laki-laki asal Jayapura dan lulusan Universitas Pelita Harapan (UPH) pada 2017 ini menjelaskan bahwa klinik Siloam di daerahnya bisa melakukan bedah minor. Jika memang ada harus ada tindakan medis lebih jauh maka akan dibawa menggunakan pesawat ke Sentani.
“Di sini, kita akan terus memberikan penyuluhan kesehatan, imunisasi dan saat ini tengah menjalan program pencegahan stunting,” katanya. Saat ini di Tumdungbon telah dipelihara belasan ayam petelur. Telur-telur ini nantinya yang akan digunakan anak-anak di Tumdungbon untuk pemenuhan protein mencegah stunting.
Sementara di Danowage, pada 2018 telah menangani 1.225 kunjungan pasien dan pada 2019 menurun pada angka 841. Penurunan ini terjadi karena pada September dan Oktober 2019 lalu, pelayanan kesehatan sempat terhenti. Semua tenaga medis di Danowage harus dievakuasi ke Sentani karena ada gangguan keamanan. Dua paramedis, Samuel Boway dan Ninik K Natoris, bisa melayani kembali pada November 2019. Pada Januari 2020 telah menangani 161 kunjungan pasien.
“Saat ini memang kami fokus pada program stunting mencegah pada anak kecil dan ibu hamil. Harapannya agar otak bayi bisa berkembang dengan baik dan tumbuh dengan baik,” kata Ninik beberapa waktu lalu. Langkah yang diambil untuk pencegahan stunting di Danowage adalah pemberian gizi yang memadai kepada bayi, anak-anak, dan ibu hamil. Hampir sama dengan daerah pedalaman lain, pemberian menu berprotein seperti daging ayam ataupun ikan lele.
Dr Atik yang menjadi pimpinan semua paramedis di beberapa pedalaman Papua, mengatakan bahwa langkah yang diambil adalah proaktif dengan penyuluhan kesehatan, preventif dengan memberikan asupan gizi, serta imunisasi dan kuratif dengan upaya rawat inap ataupun rujukan ke rumah sakit di kota. Dr Atik secara berkala berpindah dari daerah pedalaman satu ke pedalaman lain. Saat Februari 2020, wanita dari Klaten, Jawa Tengah ini tengah mengunjungi Mamit. Di klinik Siloam Mamit telah tersedia USG 3 dimensi dan bisa untuk melakukan rawat inap. Di klinik Siloam Mamit dijaga tiga paramedis.
Emanuel, paramedis yang bertugas di Nalca, bahkan harus berjalan berjam-jam untuk melakukan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat di pedalaman Papua. Tujuannya adalah untuk membiasakan hidup sehat agar masyarakat di pedalaman bisa mencegah terjangkit penyakit. Bahkan menurut Emanuel, dia harus mengajarkan cara memasak air sebelum dikonsumsi atau mencuci baju serta mandi. “Tantangannya adalah menjelaskan ke orang tidak tahu,” katanya. Kendala lain adalah obat-obatan untuk TBC yang harus dipesan dari Jayapura, karena memang obat ini hanya dimiliki oleh pemerintah.
Upaya pencegahan lain yang dilakukan adalah imunisasi. Hingga saat ini, klinik Siloam Nalca telah melakukan imunisasi kepada 2.000 anak. Upaya ini dilakukan dengan jemput bola ke kampung-kampung. Emanuel harus menembus hutan dan berjalan berjam-jam untuk mencapai masyarakat pedalaman Papua.