INSIS Sebut Politisi Millenial Belum Lihai Kelola Isu
JAKARTA – Sebanyak 307 anggota DPR mewarnai ruang opini publik di media massa sepanjang Oktober hingga Desember 2019. Politisi muda berusia 31-40 tahun masih lebih digdaya atau moncer di media massa dibandingkan anggota parlemen milenial yang berusia 21-30 tahun. Hal itu terlihat dalam riset media monitoring Institut Riset Indonesia (INSIS).
Riset simultan ini dilakukan sebagai bahan evaluasi tiga bulan anggota DPR pasca dilantik awal Oktober 2019. Dari Hasil riset INSIS menunjukkan, ada 32 politisi muda yang mewarnai pemberitaan di enam media massa yang dijadikan unit analisis. Sementara itu, ada sembilan politisi milenial yang dikutip sebagai narasumber berita.
“Politisi berusia 31 hingga 40 tahun ini dikutip sebagai narasumber di 533 tema publikasi. Sementara itu ada sembilan politikus milenial yang dikutip namanya sebagai narasumber di 42 tema publikasi,” kata peneliti INSIS Wildan Hakim, di Jakarta, Senin 27 Januari 2020.
Untuk kategori politisi muda, nama-nama seperti Andre Rosiade dan Achmad Baidowi mendominasi pemberitaan di media massa. Politisi Gerindra itu terhitung 138 kali muncul di pemberitaan media massa. Sedangkan politisi PPP itu muncul 128 kali. Di belakang keduanya, Saleh Partaonan Daulay dari PAN dikutip sebanyak 36 kali. Disusul, Mulan Jameela dikutip sebanyak 32 kali. “Kemunculan istri musisi Ahmad Dani sebagai narasumber berita ini tidak bisa dilepaskan dari faktor profesinya sebagai penyanyi dan juga selebriti,” tegas Wildan Hakim.
Di kategori politisi millennial, Hillary Brigita Lasut dari Partai Nasdem menjadi sosok yang paling banyak disebut dalam pemberitaan yakni sebanyak 21 kali. Disusul Dyah Roro Esti Widya Puteri dari Partai Golkar sebanyak lima kali. Puteri Anetta Komaruddin dari Partai Golkar, Arkanata Akram dari Partai Nasdem, dan Farah Puteri Nahlia dari PAN hanya muncul tiga kali dalam pemberitaan.
“Dari pendataan media massa ini INSIS ingin membuktikan bahwa komunikasi politik para politikus milenial belum menunjukkan tren positif. Kemampuan politikus milenial dalam merespons isu yang kemudian dijadikan materi berita di media massa masih perlu diasah. Politisi milenial kalah moncer dengan politisi muda yang begitu lihai merespons isu dan menjadikan sosok mereka terkenal di mata para jurnalis,” urai Wildan yang juga akademisi di Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta.
Dalam riset ini juga diketahui, tema amandemen UUD 1945 menjadi isu politik yang paling banyak diberitakan. Pemberitaan seputar amandemen UUD 1945 ini mencapai 326 kali. Disusul dengan isu Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar sebanyak 199 kali serta perebutan kursi pimpinan MPR sebanyak 164 kali.
“Yang menarik, berita seputar permintaan kepada Menteri Agama Fachrul Razi untuk tidak mengomentari isu-isu seputar hukum Islam berada di urutan keempat. Sepanjang Oktober hingga Desember 2019 lalu, isu seputar peran Kementerian Agama ini muncul 113 kali dalam pemberitaan,” urai Wildan.
Dari beragam isu yang menjadi tema di media massa, tercatat hanya 307 orang anggota DPR yang disebut dalam pemberitaan di media massa. Artinya, dari 575 anggota DPR yang aktif saat ini, baru 53% yang saat ini berelasi baik dengan pekerja media. Sisanya yang 47% belum muncul ke publik sebagai narasumber berita.
Menurut Wildan, para anggota parlemen yang belum muncul ke publik ini bisa saja berkilah dengan mengatakan bahwa mereka berkomunikasi melalui media sosial atau lebih banyak muncul di televisi. Padahal penting diingat, keenam media massa yang dijadikan unit analisis oleh INSIS merupakan media massa besar yang kredibilitasnya sudah teruji. Kemunculan anggota DPR sebagai narasumber di enam media massa tersebut bisa dimaknai sebagai bukti keaktifan mereka di panggung politik nasional.
“Khusus untuk politikus milenial, mereka dituntut memahami dan merespons lebih cepat setiap isu yang berkaitan dengan posisinya di masing-masing komisi. Isu-isu nasional, isu komisi, dan isu yang berkaitan dengan momentum harus segera dikuasai agar nantinya bisa diartikulasikan ke media massa. Dengan cara itulah, para politikus milenial bisa beradu gagasan dengan para politisi muda. Bahasa kekiniannya mesti gerak cepet (gercep),” kata Wildan Hakim.
Peneliti INSIS lainnya, Dian Permata mengatakan, keberadaan media massa dan anggota DPR tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling memengaruhi dan saling membutuhkan satu sama lain. Anggota DPR memerlukan media massa untuk mengintervensi agenda politik mereka kepada pemerintah. Sebaliknya, media massa memerlukan anggota DPR untuk menyampaikan agenda publik yang sedang ramai diperbincangkan.
“Titik singgungnya di situ. Keduanya saling membutuhkan. Karena keduanya memiliki agenda setting masing-masing. Terlebih lagi jika berkaitan dengan tupoksi anggota DPR di sisi pengawasan pemerintah,” papar Dian Permata
Riset berbasis media monitoring yang dilakukan INSIS, jelas Dian, memudahkan para elit partai politik dan konstituen dalam mengawasi atau memitigasi setiap isu atau agenda publik yang dibahas di ruang sidang DPR. Soalnya, hal ini dilatarbelakangi dengan status melekat yang menempel pada anggota DPR. Pertama, sebagai representasi dan citra kelembagaan partai politik. Kedua, wakil dari daerah pemilihan masing-masing. “Tentu saja, alat seperti radar. Dalam tema tertentu akan terlihat siapa anggota DPR yang menonjol atau menjadi News Maker”
Riset ini menggunakan teknik media monitoring. Ada enam media massa yang dijadikan basis data riset. Empat media cetak yakni Kompas, Koran Tempo, KORAN SINDO, dan Rakyat Merdeka. Dua media siber yakni tribunnews.com dan detik.com. Data yang dicuplik adalah pemberitaan yang memuat nama.