Jaga Kedaulatan di Natuna, Indonesia Mesti Hadir Secara Fisik
Guru Besar Hukum Internasional dari UI, Hikmahanto Juwana, menjelaskan masalah Indonesia-China tidak berhubungan dengan kedaulatan negara, tetapi hak berdaulat sebuah negara. Karena itu, tidak perlu membandingkan kekuatan militer Indonesia dengan Tiongkok. “Ini soal laut lepas. Jadi, bicara sumber daya alam yang jadi rebutan,” katanya kepada Efi Susiyanti dari SINDO Weekly, pekan lalu. Berikut petikan wawancaranya.
Sebenarnya apa yang diinginkan China di Natuna?
Ini konflik tentang perebutan sumber daya alam. Dalam kaitan sekarang ini adalah ikan yang ada di kolam air, kita sebut di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Ini bukan berkaitan dengan kedaulatan negara karena ini tidak berbicara laut teritorial, tapi laut lepas.
Kalau Tiongkok masuk ZEE, apa disebut pelanggaran?
ZEE itu 200 mil yang kita bisa tarik ke arah luar sana. Kalau ada sumber daya ikan, terumbu karang, dan lain sebagainya, itu dimanfaatkan untuk negara pantai. ZEE istilahnya adalah hak berdaulat (sovereign right, bukan sovereignty). Kita sudah menarik garis itu berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), tapi China mengatakan bahwa mereka juga punya hak di atas itu berdasarkan klaim Sembilan Garis Putus-Putus.
Lalu?
Di dalam garis itu, ada pula yang namanya Pulau Nansha. Kalau misalnya ditarik mengarah ke Indonesia, ada garis yang mirip ZEE. Namun, China tidak mau menyebut ZEE. Mereka menyebutnya traditional fishing ground. Jadi, di garis itu, nelayan China melakukan penangkapan ikan. Mereka menganggap bahwa mereka boleh menangkap ikan di perairan Natuna Utara kita, di ZEE kita. Itu yang diperebutkan.
Apa yang harus dilakukan Indonesia?
Pertama, pemerintah dari waktu ke waktu harus memiliki kebijakan yang konsisten. Pemerintah mengklaim Natuna Utara dan konsisten tidak mengakui Sembilan Garis Putus-Putus China. Jangan sampai pemerintah punya pandangan lain. Kedua, jangan hanya klaim di atas peta. Indonesia harus hadir juga secara fisik, nelayan kita harus ada di sana. Ini perebutan sumber daya alam ikan dan sebagainya, bukan wilayah. Masalahnya, nelayan-nelayan kita kadang tidak mau hadir ke sana.
Apa alasannya?
Karena terlalu jauh, tantangannya terlalu berat. Kalau mereka hadir, suka diganggu atau diusir coast guard-coast guard China. Di sinilah pemerintah punya peran untuk memberi intensif, memberikan kemudahan-kemudahan bagi nelayan kita. Misalnya, kalau mau ke Laut Natuna Utara bisa membeli kapal yang besar dengan subsidi pemerintah, bunga yang murah. Nelayan juga diberi cold storage supaya ikan hasil tangkapan tidak busuk.
Ketiga, pemerintah harus terus melakukan patroli. Patroli itu penegakan hukum bukan penegakan kedaulatan. Tujuannya kalau ada kapal-kapal nelayan China masuk ya ditangkap, dibawa ke Indonesia, diadili, lalu dihilangkan buktinya. Kalau istilahnya Bu Susi ya ditenggelamkan. Patroli juga untuk memberikan rasa tenang, rasa aman, agar tidak diganggu coast guard-coast guard China.
Apakah Indonesia-China perlu duduk bareng?
Jangan duduk bareng. Berbeda dengan Filipina, Vietnam, atau Malaysia. Dengan negara-negara itu, ada klaim yang tumpang tindih dan beririsan. Kita mengakui dasar dari klaim mereka. Namun dengan China, kita tidak mengakui dasar klaim mereka. Makanya, sulit kita untuk duduk bareng membicarakan masalah ini sampai akhir zaman. Apa yang harus kita lakukan? Jangan sampai lengah, jangan sampai Pemerintah Indonesia dianggap longgar sehingga dimanfaatkan nelayan-nelayan China.
Ke depan apakah konflik akan makin panas?
Memanas itu sewaktu-waktu saja. Pada 2016 memanas, Presiden datang ke sana. Sekarang mungkin jangan-jangan katanya Pemerintah China ada menteri-menteri baru saya mau coba siapa tahu punya kebijakan yang beda, nah manasin lagi. Ternyata kok enggak, dia mundur. Begitu kan. Nanti misalnya ada presiden ganti 5 tahun, nanti dia mulai lagi. Jadi, ada alasan mereka coba-coba. Namun, kalau konsisten, ya mereka tidak macam-macam.
Apakah akan efektif jika dilaporkan ke Mahkamah Internasional?
Bagaimana mau melaporkan orang kita tidak mengakui? Pertama, tidak akan efektif orang kita tidak mengakui klaimnya China. Kedua, kalau ke Mahkamah Internasional, harus ada kesepakatan kedua negara, belum tentu China mau. Ketiga, Filipina pernah membawa Sembilan Garis Putus-Putus Tiongkok ini ke Permanent Court of Arbitration (PCA). Di sana, dinyatakan bahwa Sembilan Garis Putus-Putus itu tidak sah. Tidak ada dasar pada Konvensi Hukum Laut 82.
Lalu, bagaimana respons China?
China bilang anggap sepi saja masa bodoh, saya tetap di sana. Kalau ada nelayan Filipina di sana, saya usir. Artinya apa? Dengan kekuatan militer mereka, kapal patroli mereka, lalu ekonomi mereka, susah untuk berhadapan dengan negara seperti China. Kita bukannya harus takut, tapi enggak perlu pergi ke peradilan internasional itu. Yang penting, masalah ini akan terus terjadi, berulang-ulang sampai akhir zaman, sekarang masalahnya kita hadir atau tidak di sana secara fisik.