Pemilu Serentak 2019, Pemilu Terburuk Sepanjang Sejarah?
Salah satu agenda politik utama pada tahun 2019 adalah pemilu serentak. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pemilihan anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan DPD), dilaksanakan bersama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Bertujuan menghemat biaya dan efisiensi pelaksanaan, Pemilu 2019 tercatat sebagai pemilu yang paling banyak memakan korban dari kalangan panitia pelaksana.
Sejumlah pihak bahkan menyebut, pemilu yang digelar 5 April 2019 itu sebagai pemilu terburuk sejak era reformasi dan Orde Baru. Seperti yang diucapkan Ketua Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Bambang Widjojanto. Dia mengungkapkan beberapa alasan untuk meyakinkan argumennya.
“Pemilu kali ini Pemilu terburuk. Pertama, yang sudah beredar di publik adalah tidak ada Pemilu di dunia ini yang menghadirkan 700 korban jiwa,” ujarnya dalam diskusi di Media Center Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan, Senin (24/5/2019) lalu.
BW, sapaan akrabnya, mengutip angka kematian anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS). Kementerian Kesehatan mencatat, petugas yang meninggal 527 jiwa dan yang sakit mencapai 11.239 orang.
Kedua, Bambang mengungkit temuan 400 ribu amplop uang yang diduga bakal digunakan untuk serangan fajar. Temuan berasal dari operasi tangkap tangan politikus Golkar Bowo Sidik Pangarso. “Ketiga, terungkap adanya keterlibatan penyelenggara negara aktif, masif dan sistematis, ini dilakukan oleh kepala daerah dalam sosialisasi pasangan calon petahana,” ujarnya.
Sedangkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti nuansa politik identitas yang cenderung berlebihan. “Yang buruk, pertama kali dalam sejarah, pemilu kita diwarnai politik identitas yang melebihi takarannya. Juga pertama kali terjadi banyak korban jiwa, baik karena kekerasan maupun bukan,” ujar SBY dalam pidato renungan akhir tahun di Jakarta Convention Center, Rabu (11/12/2019).
KPU dan Bawaslu: Pemilu 2019 Paling Transparan
Menanggapi kritikan itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menolak bahwa Pemilu 2019 merupakan pemilu terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Bawaslu justru berpandangan, Pemilu 2019 merupakan pemilu yang paling transparan.
“Kalau menurut kami ya tidak, kalau menurut penyelenggara, pemilu ini yang paling transparan. Pemilu ini sangat transparan,” tegas Ketua Bawaslu Abhan di Jakarta, Rabu (29/5/2019).
Menurut Abhan, semua proses dan tahapan pemilu serentak 2019 dilakukan secara terbuka dan transparan. “Enggak mungkin lah (lebih buruk dari Orde Baru), wong ini penyelenggaranya jelas, independen, transparan, mana ada proses sejak awal di kecamatan dilihat, di kabupaten dilihat, ya semua publik bisa lihat lah. Di nasional juga lihat kan debatnya kami dengan saksi, keberatan dari 02, Anda bisa lihat sendiri kan,” terang dia.
Abhan mengakui bahwa memang masih ada kekurangan dan kesalahan dalam penyelenggaraan Pemilu 2019. Namun, kata dia, dengan berbagai mekanisme yang ada, kesalahan dan kekurangan tersebut bisa dikoreksi. “Kalau ada kekurangan iya, yang namanya manusia tidak sempurna, tetapi kalau dengan kami membuat rekomendasi sekian PSU (pemungutan suara ulang), nah ini kan bagian dari ada yang salah dibenarkan,” tandas Abhan.
Senada, Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menolak Pemilu 2019 disebut yang paling buruk. Salah satu indikatornya adalah turunnya jumlah sengketa pemilu yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Ketua KPU Arief Budiman menyebut Pemilu 2019 lebih kompleks karena merupakan Pemilu serentak pertama dan lebih banyak jumlah TPS dan pemilih.
“Saya enggak tahu kenapa beberapa orang bilang pemilu yang buruk. Padahal kalau kita kita lihat data kuantitatif ada perbaikan,” jelasnya.
Arief mengungkapkan, justru banyak negara yang ingin belajar penyelenggaraan Pemilu dari Indonesia. Di antaranya Papua Nugini, Timor Leste, Afghanistan, Republik Kepulauan Fiji, Meksiko dan Malaysia. Ada beberapa hal yang ingin ditiru negara-negara tersebut, Arief menyebut salah satunya mengenai Situng.
“Paling banyak yang ingin ditiru adalah Situng kita. Situng kita luar biasa lho, menampilkan hasil dari setiap TPS. Mereka punya teknologi bagus, tapi yang ditampilkan adalah hasil akhir, (hasil) per TPS mereka belum punya,” ujarnya.
Revisi UU Pemilu
Meski menolak disebut terburuk, baik KPU dan Bawaslu mengakui perlu perbaikan dalam pelaksanaan pemilu serentak. Salah satu yang bisa menjadi solusi adalah rekapitulasi elektronik atau e-rekap. Dengan e-rekap juga akan mempermudah pekerjaan KPPS dan mengurangi potensi jatuhnya korban jiwa akibat petugas yang kelelahan karena proses penghitungan yang begitu lama.
KPU akan memperjuangkan e-rekap ini masuk dalam revisi UU 7/2017 tentang Pemilu dengan target selesai tahun 2021. “Hal yang paling urgent sebetulnya untuk sekarang itu pertama memutuskan bahwa e-rekap itu dijadikan sebagai hasil resmi pemilu,” kata Arief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Selain itu, dia meminta salinan rekapitulasi suara tidak lagi diberikan secara manual. Tetapi sudah dalam bentuk digital untuk memudahkan KPPS.
“Maka salinan digital itu akan memangkas tugas KPPS yang harus mengisi berlembar-lembar salinan itu. Terutama untuk pileg, kalau untuk pilpres dan pemilihan kepala daerah sebetulnya jumlahnya tidak terlalu banyak,” pungkasnya.
Sementara mantan Wapres Jusuf Kalla menginginkan, pemilu legislatif dan pilpres kembali dipisah sebagai solusi memperbaiki kelemahan sistem Pemilu 2019.
“Evaluasinya dua itu, bahwa jangan disatukan (pileg dan pilpres), kemudian jangan lagi (proporsional) terbuka supaya yang dihitung hanya partainya. Supaya patai juga memilih orang yang baik, karena banyak isu tentang biaya yang besar,” kata JK di Kantor Wapres Jakarta, Senin (13/5/2019).
Menurut JK, salah satu penyebab ratusan penyelenggara dan petugas pemilu meninggal dunia adalah rumitnya penghitungan perolehan suara pileg. “Yang paling berat sebenarnya tiga sistem yang tergabung itu, sehingga makin banyak. Kedua, sistemnya terbuka, sehingga nama pun harus dicatat, sehingga butuh waktu bagi mereka bekerja lama sekali,” jelasnya.
Selain itu, Wapres JK melihat jumlah partai politik yang menjadi peserta di Pemilu 2019 lebih banyak jika dibandingkan Pemilu 2014. Akibatnya, waktu yang diperlukan petugas KPPS untuk menghitung perolehan suara caleg juga lebih lama.
“Jadi yang terberat sebenarnya bukan pilpresnya, yang terberat justru pileg itu karena sistemnya terbuka. Jadi (sekarang) 16 partai, dulu cuma 10 partai, jadi bertambah lebih 60 persen,” katanya.