Pimpinan Baru Didesak Koreksi Total Pelaksanaan Tugas KPK
JAKARTA – Mantan Komisioner Komisi Pengawas Keuangan Penyelenggara Negara (KPKPN) Petrus Selestinus mengharapkan pimpinan baru KPK bisa mengoreksi total pelaksanaan tugas KPK yang selama ini menyimpang.
Menurut Petrus, Firli dkk memiliki momentum melakukan koreksi tersebut dengan adanya revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
“Revisi UU KPK kali ini harus dijadikan momentum bagi Firli dkk untuk membuat KPK tampil lebih digdaya dan taat asas,” ujar Petrus dalam acara diskusi bertajuk “Prospek Pemberantasan Korupsi Pasca Revis UU KPK” di Jakarta, Rabu (11/12/2019).
Acara diskusi juga dihadiri anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan,Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW)Neta S Pane danMantan Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan AgungChairul Imam.
Petrus berharap KPK dipimpin Firli mampu mengefektifkan dan mengefisienkan tugas pemberantasan korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan yang selama 15 (lima belas) tahun usia KPK dinilai gagal diwujudkan. Padahal UU KPK memberikan KPK dengan 5 (lima) tugas dan kewenangan besar yaitu koordinasi, supervisi, penindakan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan), pencegahan tindak pidana korupsi dan monitor.
“Dari lima tugas besar ini, yang menonjol dilaksanakan adalah hanya bidang penindakan. Sedangkan empat bidang tugas lainnya nyaris tak terdengar. Tugas penindakan pun gagal dilaksanakan, karena banyak kasus besar mangkrak (tidak tuntas) diselesaikan oleh KPK,” katanya.
Dia melanjutkan, belum lagi kasus-kasus besar yang mangkrak di Kepolisian dan Kejaksaan yang juga menjadi wewenang KPK untuk mengambilalih tetapi kenyataannya tidak pernah dilakukan.
Menurut Petrus, kegagalan pencegahan dan pemberantasan korupsi ini tidak semata-mata karena ada titik lemah pada UU KPK. Namun, juga pada persoalan kapasitas pimpinan KPK yang mudah diintervensi.
“Pimpinan KPK akhirnya melakukan praktek tebang pilih, dan memilih jalan pintas melakukan penindakan dengan cara OTT, karena OTT tidak mudah diintervensi dan mendapat publikasi luas, tetapi OTT juga bisa diorder untuk target-target tertentu,” tandasnya.
Pasca revisi UU KPK, kata Petrus, penampilan KPK akanberbeda karena adanya organ baru yaitu dewan pengawas (Dewas) dengan kekuasaan mengawasi dan ikut menentukan proses penindakan di KPK. Selain itu, KPK juga mempunyai kewenangan SP3, posisi KPK berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, pegawai KPK adalah ASN, serta adanya tambahan asas di mana pada setiap tindakan KPK harus tetap menjunjung tinggi HAM disamping asas-asas lainnya.
“Munculnya organ baru dengan status hukum baru di mana KPK menjadi lembga yang berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, hal tersebut berimplikasi kepada hilangnya organ penasihat KPK dan pegawai KPK non-ASN. Perubahan struktur dan status hukum KPK ini diharapkan agar kedigdayaan KPK terus bertambah, akan tetapi berjalan dengan tetap menjunjung tinggi HAM dan asas-asas lainnya,” jelas dia.
Dengan perubahan itu, lanjut Petrus, mestinya pada 17 Oktober 2019 lalu, KPK langsung mengumumkan siapa saja pegawai KPK yang tidak lagi memenuhi syarat bersamaan dengan dihilangkannya penasehat KPK. Namun, kata dia, hal ini tidak pernah diumumkan termasuk penyidik KPK yang kehilangan status dan wewenang sebagai akibat berlakunya UU KPK baru.
Menurut Petrus, beberapa poenyidik yang serta merta kehilangan legal standing untuk menjadi penyidik tetapi diduga masih diberi peran menyidik. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 70C UU KPK hasil revisi.
“Karena itu, Firli bersama Dewas KPK nantinya harus mejernihkan persoalan ini, karena menyangkut hasil penyidikan yang kelak akan diuji dalam persidangan, atau jika perlu kinerja Agus Rahardjo Cs. dilakukan audit forensik, guna memastikan seberapa banyak dan besar penyimpangan terjadi dan siapa saja korbannya,” tegasnya.
Senada dengan hal itu, Arteria Dahlan mengingatkan KPK tahu diri dan tidak perlu bereaksi berlebihan terhadap revisi UU KPK. Pasalnya, KPK lembaga negara penegakan hukum yang menjadi bagian dari pemerintah pusat.
“Kita menekankan KPK ini bagian dari pemerintah pusat, tahu diri. Jadi jangan protes, jangan demo, jangan mengingatkan presiden, tahu diri.KPK ini alat negara, lembaga negara penegak hukum pembantu presiden di bidang korupsi, nggak boleh mendikte presiden,” tegas Arteria.
Politisi PDIP ini meminta pegawai dan pimpiman KPK juga tidak perlu takut dengan kehadiran dewas. Menurut dia, dewas tidak akan ganggu kerja KPK, tetapi membuat KPK lebih akuntabel dalam menjalankan tugasnya.
“Dewan pengawas itu 1×24 jam dia wajib setuju untuk izin sadap, kalau dia enggak setuju dia harus buat alasannya kenapa enggak setuju.Tidak usah khawatir, wadah pegawai KPK jarum jatuh saja tau, pimpinan KPK saja dilawan apalagi dewan pengawas. Kok takut banget yang namanya begini dewas,” kata Arteria.
Neta S Pane menambahkan dalam UU KPK baru, KPK tetap merupakan garda terdepan yang sekaligus tumpuan harapan masyarakat untuk pemberantasan korupsi.
Ddalam Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan tugas pokok KPK adalah melakukan pencegahan, monitoring, koordinasi, supervisi, penindakan (penyelidikan penyidikan dan penuntutan) dan melaksanakan putusan pengadilan dan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
“Agar KPK di era Firli dkk bisa berlari cepat dalam kinerjanya ada beberapa hal yang mendesak, yang perlu dilakukan Pemerintah Jokowi, antara lain segera mengeluarkan, sedikitnya empat Peraturan Pemerintah (PP) sebagai penjabaran UU KPK hasil revisi,” ungkap Neta.
Keempat PP tersebut, kata Neta adalah PP yang akan mengatur tugas pokok, kedudukan, peran, kewenangan Pimpinan KPK; sistem organisasi tata kerja KPK; SDM KPK beralih status menjadi ASN; dan sistem penggajian pegawai KPK.
“PP ini yang menjadi perangkat dan daya dukung agar KPK bisa dikonsolidasikan. Bagaimana KPK bisa berlari cepat memberantas korupsi, jika lembaga anti rasuah tidak bisa dikonsolidasikan,” jelas Neta.