Kasus HAM Talangsari, KontraS Soroti Pengabaian Hak Korban
NAGALIGA — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta pemerintah mengutamakan kepentingan korban dalam mengeluarkan kebijakan terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat ke depan.
Hal itu menanggapi temuan Ombudsman yang dipublikasi Kamis (5/12) lalu, bahwa deklarasi damai kasus pelanggaran HAM berat di Talangsari mengandung maladministrasi.
Wakil Koordinator Kontras Feri Kusuma mengatakan kebijakan deklarasi damai tersebut tidak berpihak pada korban pelanggaran HAM berat dan masyarakat umum yang menghendaki penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara berkeadilan melalui mekanisme yudisial dan nonyudisial.
“Pemerintah ke depannya dalam mengeluarkan kebijakan terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat wajib mengutamakan kepentingan korban,” ujar Feri dalam keterangan pers
Merujuk survei Komnas HAM dan Litbang Kompas 2019, Feri menyebut 99,5 persen masyarakat Indonesia ingin penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dilakukan melalui pengadilan.
Karenanya, dia menilai bahwa deklarasi damai di Talangsari hanya manuver semata untuk menghindari proses hukum bagi para pelaku dan melanggengkan impunitas.
Feri juga membeberkan tiga poin maladministrasi yang dikeluarkan Ombudsman dalam deklarasi damai Talangsari. Pertama, maladministrasi terjadi karena deklarasi itu menyatakan bahwa masyarakat lewat wakilnya di DPRD tidak akan memperpanjang kasus pelanggaran HAM berat Talangsari.
Dia berkata poin tersebut tidak sesuai dengan amanah UU Nomor 26 tahun 2000 tentang penyelesaian pelanggaran HAM nonyudisial yang seharusnya menggunakan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR, kata dia, tidak meniadakan pengungkapan kebenaran sebagai hak yang melekat pada korban.
“Selain itu, penyelesaian kasus pelanggaran HAM juga harus memberikan hak korban berupa pemulihan personal dan kolektif, membangun ulang hubungan tanpa kekerasan antar individu dan komunitas, serta memastikan ketidakberulangan kasus pelanggaran HAM berat,” ujarnya.
Poin kedua, Feri menyampaikan maladministrasi terjadi karena deklarasi itu mengklaim pemerintah telah melakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban selama 30 tahun.
Feri menyebut proses tersebut belum maksimal karena masih banyak taraf ekonomi korban tak kembali seperti semula.
“Selain itu, pendataan terkait kondisi terkini korban dan keluarganya pun belum didata dengan solid oleh Komnas HAM maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban,” ujar Feri.
Poin ketiga, lanjut Feri, Ombudsman menyatakan deklarasi itu maladministrasi karena menyebutkan para pelaku, korban, dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tidak diungkap kembali oleh pihak manapun.
Hal itu dianggap bermasalah karena sama saja menutup lembaga pendamping korban yang ingin membantu korban dan keluarganya agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM bisa berjalan sesuai amanat undang-undang.
“Permasalahan lain adalah tidak dilibatkan korban secara aktif dalam agenda ini, sehingga poin ketiga ini sebenarnya tidak memiliki basis legitimasi apapun dari korban maupun keluarga korban,” ujarnya.
Terkait dengan hal itu, Feri mengingatkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi harus diselesaikan secara multidimensional dengan turut melibatkan penyelesaian secara yudisial dan nonyudisial dalam bentuk pemenuhan hak-hak korban, pelurusan sejarah, hingga koreksi terhadap lembaga pelaku.
Dia tidak sepakat jika pelanggaran HAM hanya dituntaskan lewat satu dimensi, misalnya, dengan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan atau rekonsiliasi.
KontraS merekomendasikan pemerintah agar menjadikan temuan maladministrasi sebagai pendorong untuk menyelesaikan kasus secara berkeadilan dan konstitusional berdasarkan UU Pengadilan HAM.
Lebih dari itu, Feri meminta temuan maladministrasi Ombudsman menjadi acuan bahwa praktik rekonsiliasi yang telah diwacanakan tidak boleh keluar dari ruh penyelesaian pelanggaran HAM berat, yakni untuk mengutamakan keadilan bagi korban.
SUMBER: