Polisi Tangkap Pria Cabuli 6 Anak Laki-laki Selama 11 Tahun
NAGALIGA — Muanam, pria 50 tahun asal Desa Boyolangu, Tulungagung, Jawa Timur, diringkus Subdit IV Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jatim. Ia ditangkap lantaran diduga melakukan pencabulan terhadap enam anak laki-kali di bawah umur.
Direktur Ditreskrimum Polda Jatim Komisaris Besar R Pitra Andrias Ratulangie mengatakan perbuatan bejat itu sudah dilakukan Muanam sejak 2008 silam, hingga sebelas tahun lamanya.”Muanam sudah melakukan tindakan ini sejak 2008. Kemudian pada tahun 2018, ada enam korban yang kita ketahui. Pada akhir bulan November ini anggota kita dari unit Asusila berhasil menangkap Muanam di Tulungagung,” kata Pitra, di Mapolda Jatim, Surabaya, Jumat (29/11).
Dalam melakukan aksinya, kata Pitra, melalui WhatsApp Muanam mengajak calon korbannya minum kopi. Kemudian ia mengajak korbannya ke sebuah ruangan di dalam warung kopi miliknya. Di situlah perbuatan bejatnya dilakukan.
Tak hanya itu, Muanam juga mengiming-imingi sejumlah korbannya yang masih berusia di bawah umur dengan tawaran uang. Nominalnya mulai puluhan ribu hingga ratusan ribu.
“Anak-anak di bawah umur, modusnya diajak minum kopi. Tersangka punya usaha warung kopi, anak-anak muda diajak minum kopi. Dia minta nomor WhatsApp, terjadi komunikasi sampai anak-anak diiming-imingi. Setelah berhasil, tersangka melakukan perbuatan yang melanggar hukum,” kata Pitra.
Sementara ini korban masih berjumlah enam anak. Pitra menyebut pihaknya masih melakukan pendalaman kemungkinan korban lainnya. Ia menduga, dalam kasus ini masih banyak korban yang enggan mengaku karena rasa malu.
“Kita akan selidiki terus. Polda Jatim concern dengan kejahatan anak-anak di bawah umur, yang penting di sini kita bisa menindaknya. Bagaimana caranya kejahatan ini kita tekan agar penegakan hukum terus berjalan. Total korban sampai saat ini ada enam. Itu rata-rata umurnya 14 sampai 16 tahun,” ujar Pitra.
Selain itu, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, di antaranya, celana milik korban dan tersangka, karpet merah yang digunakan sebagai alas tersangka saat melakukan aksinya hingga ponsel milik tersangka.
Atas perbuatannya, Muanam disangkakan Pasal 82 UU RI Nomor 17 tahun 2016 junto UU RI Nomor 23 tahun 2003 dengan ancaman hukuman minimal 15 tahun penjara.
Di lokasi yang sama, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi mengaku prihatin melihat kasus kekerasan seksual pada anak-anak. Menurutnya, hukuman kebiri layak untuk para predator anak.
Kak Seto, sapaan akrabnya, mengatakan hukuman kebiri kimia harus berasal dari kemauan dan kesadaran pelaku. Namun, sebelum itu, pelaku harus diberikan pendampingan psikologis.
Kak Seto menyebut pendampingan psikologis ini penting untuk memberi pemahaman pelaku terkait kondisi libidonya. Karena, libido pelaku kejahatan seksual pada anak biasanya sangat tinggi dan bisa membahayakan anak-anak.
“Harus dilakukan rehabilitasi, sebagai upaya yang diikuti dengan kesadaran bukan sekadar balas dendam, jadi tidak akan menyakitkan. Kalau Balas dendam, bahayanya nanti [jika sudah dikebiri] oke mungkin dia sudah tidak bisa menggunakan alat kelaminnya. Tetapi dengan segala cara yang lebih sadis bisa dilakukan,” kata Seto.
Selain itu, menurutnya, pelaku harus diberi pemahaman jika kebiri dilakukan untuk menyembuhkan kelainan seksual dari pelaku. Jika tujuannya untuk pengobatan, ia yakin Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bisa membantu, karena sejalan dengan visi misi dan sumpah dokternya.
“Untuk mencegah itu supaya dia tidak mengulangi lagi maka kebiri harus ada atas permintaan itu, jadi kebiri harus dilakukan dalam tanda kutip untuk pengobatan. Nah, ini kan yang ditolak dari IDI kalau itu sebagai hukuman, karena dokter itu menyembuhkan. Tapi (kebiri tanpa persetujuan pelaku) itu tidak menyembuhkan dalam konteks psikologisnya,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Kak Seto mengingatkan bahwa kejahatan seksual pada anak merupakan perkara serius. Untuk itu, dia meminta polisi maupun masyarakat tak hanya berfokus pada hukuman terhadap pelaku saja, namun juga fokus untuk menyembuhkan trauma pada anak.
“Korban mohon jangan dilupakan, sering kita sibuk dengan pelaku tapi korban dilupakan. Jadi korban itu perlu mendapatkan perlindungan khusus Sesuai dengan amanat Nomor 35 tahun 2014 dengan melibatkan berbagai lembaga dan kementerian. Kementerian Pendidikan Kementerian Sosial Kementerian Perlindungan Anak dan lain sebagainya,” ujar Seto.
Langkah ini penting karena korban harus bebas dari traumanya. Seto mengatakan penelitian dari pihaknya memaparkan kemungkinan korban yang bisa menjadi pelaku di kemudian hari.
“Kemudian haknya untuk mendapatkan restitusi penggantian dari pelaku atau kalau tidak mungkin dari pelaku bisa dari lembaga negara kompensasi. Jadi masa depan korban juga lebih bagus khususnya yang sering dilupakan treatment sosiologis dan berikan terapi. Karena dari penelitian kami, banyak pelaku-pelaku yang dulunya adalah korban,” tambahnya.
Lebih lanjut, Kak Seto juga mengingatkan masyarakat yang mengetahui kejadian kekerasan seksual di lingkungannya, untuk segera melapor. Menurutnya, ada undang-undang yang menjerat masyarakat yang abai akan hal perlindungan anak.
“Selain penindakan, langkah preventif juga dilakukan. Kadang-kadang lingkungan tidak peduli, padahal ada UU perlindungan. siapa pun yang mengetahui adanya tindak kekerasan pada anak diam saja dan tidak berusaha menolong atau minimal melapor itu sanksi pidananya maksimal 5 tahun penjara,” ujarnya.
LPAI pun merintis pembentukan Satgas Perlindungan Anak di tingkat RT dengan memberdayakan masyarakat.
SUMBER: