Salamuddin Daeng ‘Kebijakan Nyeleneh Harus Dikritik’
SOSOKNYA begitu kalem. Namun dibalik kekalemannya tersebut, Salamuddin Daeng sangat dikenal sebagai salah satu ekonom yang bersuara vokal.
Apalagi bila berbicara soal kebijakan publik yang nyeleneh, pria kelahiran Sumbawa ini tak segansegan bersuara lantang. Mengkritik habis-habisan.
“Kalau kebijakan tersebut tidak positif buat publik, saya akan selalu kritisi. Tapi bukan sekadar kritik, tapi ada data pendukung,” ucap pria asal Sumbawa-NTB tersebut kepada Pos Kota, baru-baru ini.
Ia mengaku berjuang demi membela kepentingan masyarakat sudah tertanam sejak masih menjadi aktivitas mahasiswa. Bahkan setelah keluar dari kampus Universitas Mataram, Salamuddin muda tetap berjuang membela masalah yang terkait dengan kepentingan publik.
Karena itu, dirinya bergabung dengan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain di Jatam, juga LSM lainnya. “Lewat wadah ini, saya berjuang menyuarakan kepentingan masyarakat,” tuturnya.
Pria kelahiran 1973 ini mengaku tidak pernah takut menghadapi ancaman dari pihak yang tak menerima atas sikapnya menyuarakan kepentingan masyarakat. “Saya kerap mendapat ancam. Bukan sekali atau dua kali,” tandasnya.
Bahkan tak jarang dirinya dilaporkan ke polisi. Sehingga harus mondar-mandiri ke kantor polisi untuk menjelaskan pernyataan atau kritik yang dilontarkan.
Namun, ia menganggap semua itu bagian dari resiko pekerjaan. Sehingga tetap menghadapi dengan tenang. Sebab dalam mengeluarkan pernyataan atau kritik terhadap kebijakan tertentu, ia mengaku selalu menyertakan data-data. “Bukan asal cuap-cuap, tapi saya pegang data,” ucap pengajar di Institute Bung Karno ini.
Karena mengantongi data-data, Salamuddin mengaku kerap diundang untuk menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar berbagai instansi pemerintahan. Mereka tak alergi terhadap pernyataan keras atau kritik yang disampaikan.
“Justru mereka senang, karena mendapatkan masukan, sebelum mengeluarkan kebijakan ke masyarakat,” ucapnya.
Namun begitu dirinya mengaku sedih, jika pernyataan atau kritik yang dilontarkan seolah-olah dibayar oleh instansi yang dibelanya. “Ini membuat saya sedih. Seolah-olah, saya dibayar,” ujarnya.
Padahal, ia menegaskan hal itu tidaklah benar. Di kebijakan di sektor energi misalnya. Ia mengungkap tak segan-segan melakukan kritik, sebab kebijakan tersebut kerap merugikan masyarakat.
Misalnya ada kebijakan kementerian yang merugikan BUMN. Akibatnya, BUMN bersangkutan melemparkan kerugian tersebut dengan menaikkan harga jual komoditas yang dikelola ke masyarakat.
“Kritik yang saya sampaikan bukan atas dasar sentimen terhadap menterinya, tapi kebijakannya yang saya nilai nyeleneh. Apa ini salah?” katanya.