Dua Kali Situnda, Jepang Akhrinya Naikkan Pajak Penjualan Jadi 10%
TOKYO – Jepang akhirnya menaikkan pajak penjualan menjadi 10% dari 8% kemarin setelah dua kali ditunda. Langkah ini dianggap penting untuk membenahi kondisi keuangan di negara itu, namun dapat mengakibatkan resesi karena melemahkan sentimen konsumen. Pemerintah telah menerapkan berbagai langkah mencegah tekanan terhadap konsumsi seperti yang pernah terjadi saat kenaikan pajak pada 2014 yang memicu pelemahan ekonomi.
Tayangan televisi menunjukkan gambar-gambar saat antrean konsumen membeli berbagai barang seperti wine, kosmetik, dan perhiasan sebelum terkena kenaikan harga. “Saya sedikit khawatir apakah saya dapat membeli ini pada tingkat pajak 8%, tapi sekarang saya senang bahwa saya membelinya,” tutur wanita berumur 45 tahun yang membeli kasur seharga USD647 di pusat perbelanjaan di Tokyo, Jepang, kemarin.
Saat pemerintah menaikkan pajak menjadi 8% dari 5% pada April 2014, para konsumen melakukan pembelian di menit terakhir dan kemudian terjadi penurunan belanja konsumen. Kenangan pahit itu membuat Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe menunda dua kali kenaikan pajak jadi 10% hingga 1 Oktober. Namun, tingkat pajak yang lebih tinggi itu masih akan menekan ekonomi saat pertumbuhan global melemah dan konflik dagang semakin mengkhawatirkan.
Abe menjelaskan, kenaikan pajak akan membantu mendanai layanan keamanan sosial pada masyarakat yang semakin tua di Jepang, termasuk menggratiskan pendidikan prasekolah, menurunkan premi asuransi layanan lanjut usia (lansia), dan menyediakan dana untuk lansia dengan tunjangan pensiun rendah.
“Ini akan menjadi langkah terkait sistem asuransi untuk semua generasi hingga anak-anak dan lansia dapat merasakan kemudahan. Untuk berbagai dampak dari kenaikan pajak, kami akan mengambil semua langkah yang memungkinkan,” tutur Abe, dilansir Reuters. PM Abe berharap kenaikan pajak dapat meningkatkan pendapatan negara untuk membayar utang publik yang mencapai lebih dari dua kali ukuran ekonomi Jepang sebesar USD5 triliun.
Para pembuat kebijakan bank sentral dan pemerintah Jepang memperkirakan dampak dari kenaikan pajak ini jauh lebih kecil dibandingkan kenaikan pajak sebelumnya. Untuk meringankan beban rumah tangga berpendapatan rendah, beberapa makanan dan minuman nonalkohol akan dikecualikan dari kenaikan pajak. Pemerintah juga telah menyediakan 2 triliun yen (Rp262 triliun) untuk berbagai diskon dan voucher belanja saat konsumen berbelanja. Dana lain sebesar 300 miliar yen akan dikucurkan untuk keringanan pajak bagi pembelian perumahan dan mobil.
Meski demikian, langkah tersebut mungkin tidak cukup untuk mendorong konsumsi. “Pengurangan tingkat pajak dan sistem poin mungkin membatasi dampak pada konsumen. Namun, sentimen konsumen cenderung memburuk dan setelah kenaikan pajak akan memengaruhi aktivitas ekonomi,” ujar Koya Miyamae, ekonom senior di SMBC Nikko Securities.
Jika dampaknya lebih besar dari yang diperkirakan, pemerintah menyatakan siap menerapkan langkah-langkah tambahan. “Saya akan mengambil inisiatif untuk memeriksa situasi ekonomi dari dekat dan mengambil langkah-langkah ekonomi tambahan secara fleksibel jika perlu,” kata Menteri Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura.
Motohiro Kurosawa dari Fri-tei, restoran yang menjual roti isi daging babi di Tokyo, berupaya menyesuaikan dengan kebijakan kenaikan pajak tersebut. Di restoran itu Kurosawa harus menerapkan dua tingkat pajak yakni 8% untuk pembeli yang membawa pulang makanan dan pajak 10% untuk pembeli yang makan di dalam restoran tersebut.
“Salah untuk menetapkan dua tingkat pajak. Hidup akan lebih mudah jika ini diterapkan sama,” ungkap Kurosawa pada Reuters. Kurosawa pada Juni mengeluarkan dana 200.000-300.000 yen untuk membeli sistem pencatat uang tunai elektronik baru untuk menangani berbagai transaksi yang rumit. “Ini investasi karena penjualan kami sebesar 33 juta yen per tahun,” ujar Kurosawa.
Pemerintah menawarkan sistem poin yang dapat ditukar untuk diskon bagi para konsumen yang menggunakan cara pembayaran nontunai di berbagai toko kecil. Program ini berlaku hingga sembilan bulan mendatang. Meski cara ini dapat mendorong daya saing bagi bisnis, namun kurang berdampak pada para konsumen yang selama beberapa dekade mengalami deflasi.
Beberapa pengelola toko besar telah menawarkan sejumlah diskon untuk pembayaran nontunai. Bisnis lain hanya menurunkan harga untuk menarik para konsumen. “Ini dapat memicu persaingan harga dan mendorong deflasi. Perusahaan-perusahaan kecil dengan daya saing rendah dapat kalah bersaing,” ungkap Yukio Kawano, kepala Asosiasi Supermarket Jepang.
Jaringan restoran Sukiya mempertahankan harga termasuk pajak untuk semangkuk nasi gyudon biasa dengan daging sapi seharga 350 yen meski tingkat pajak penjualan sebesar 10%. McDonald’s di Jepang juga mempertahankan harga untuk konsumen yang makan di restoran dan sekitar 70% menu tidak berubah harganya.
Kawano memperingatkan, langkah tersebut akan memudahkan para konsumen, namun akan mengurangi laba bagi bisnis. Jaringan supermarket Yaoko Co telah bersiap menghadapi kenaikan pajak selama setahun dengan menerapkan sistem kas baru senilai 700 juta yen. Perusahaan itu juga telah melakukan pelatihan bagi para karyawan, berkoordinasi dengan 300 mitra bisnis, dan mengubah harga produk.
“Bahkan bagian penjualan di supermarket kami masih bingung dengan barang-barang yang terkena tingkat pajak lebih rendah,” tutur Yukio Tanita, manajer umum strategi penjualan di Yaoko. Misalnya, sake manis yang dianggap minuman alkohol akan terkena pajak 10%, tapi sake manis dengan perasa hanya terkena pajak 8%. Pasta gigi terkena tingkat pajak 10%, tapi tablet layanan bau mulut terkena pajak 8%.